Jokowi Diminta Pertimbangkan Kejiwaan Terpidana Mati WN Brasil

Terpidana mati kasus narkoba Rodrigo Gularte mengalami Schizophrenia atau gangguan jiwa.

oleh Oscar Ferri diperbarui 18 Feb 2015, 13:11 WIB
Ilustrasi eksekusi mati

Liputan6.com, Jakarta - ‎Terpidana mati kasus narkoba Rodrigo Gularte mengalami Schizophrenia atau gangguan jiwa. Mengenai hal itu, Kontras meminta agar pemerintah untuk mempertimbangkan rekam medik terpidana mati asal Brasil tersebut.

"Rodrigo‎, punya catatan kesehatan, tapi nggak jadi perhatian khusus pemerintah," kata Koordinator Kontras Hariz Azhar saat jumpa pers bersama keluarga Rodrigo di Kantor Kontras, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (18/2/2015).

Haris menilai, proses hukuman mati terhadap Rodrigo banyak ketimpangan. Terutama soal kesehatan Rodrigo. Karenanya, Haris melihat pemerintah telah mengabaikan gangguan jiwa yang dialami Rodrigo ini.

‎"Saya pikir pemerintah mengabaikan kondisi medis Rodrigo," ujar Haris.

Sepupu Rodrigo, Angelica Muxfeldt menambahkan, ‎orang yang mengidap kelainan jiwa tidak seharusnya mendapat hukuman mati. Karenanya, dia berharap Presiden Joko Widodo kembali mempertimbangkan grasi yang diajukan Rodrigo yang sudah ditolak bersama 59 grasi terpidana mati lainnya.

"Saya minta maaf kepada Presiden Jokowi. Keluarga tahu Rodrigo melakukan kesalahan. Tapi Rodrigo tidak tahu akan dieksekusi mati," ujar Angelica.

Angelica menambahkan, pada seharusnya Rodrigo mendapatkan perawatan medis. Hal itu sebagaimana telah diungkapkan psikiatri bersama dokter dari Lapas Pasir Putih Nusakambangan ‎saat memeriksa Rodrigo beberapa waktu lalu.

"Dokter yang melakukan observasi sudah bilang Rodrigo harus dirawat. Karena ketika ditahan Rodrigo sudah‎ dalam keadaan punya penyakit mental," ucap Angelica.

Terpidana mati asal Brasil, Rodrigo Gularte, yang akan dieksekusi mati tahap 2 diketahui mengalami gangguan jiwa. Hal itu dikatakan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Tony Tribagus Spontana.

"Diterima Surat Lapas Nusakambangan, salah satu terpidana mati mengalami gangguan jiwa," kata Tony, Selasa 17 Februari 2015.

Dikatakannya, pihak Lapas sudah meminta Kejagung untuk melakukan pemeriksaan medis di luar Nusakambangan mengingat fasilitas yang ada di sana terbatas. Karena itu, kata dia, Kejagung sedang mempertimbangkan second opinion atas terpidana mati tersebut. Adanya terpidana mati yang mengalami gangguan jiwa itu, menjadi salah satu pertimbangan juga untuk ditundanya pelaksanaan eksekusi mati tahap 2.

Sedianya Kejagung akan mengeksekusi 11 terpidana mati yang sudah ditolak permohonan grasinya. Ke-11 terpidana mati itu, yakni:

1. Syofial alias Iyen bin Azwar (WNI) kasus pembunuhan berencana.
2. Mary Jane Fiesta Veloso (WN Filipina) kasus narkoba‎.
3. Myuran Sukumaran alias Mark (WN Australia) kasus narkoba.
4. Harun bin Ajis (WNI) kasus pembunuhan berencana.
5. Sargawi alias Ali bin Sanusi (WNI) kasus pembunuhan berencana.
6. Serge Areski Atlaoui (WN Prancis) kasus narkoba.
7. Martin Anderson alias Belo (WN Ghana) kasus narkoba.
8. Zainal Abidin (WNI) kasus narkoba.
9. Raheem Agbaje Salami (WN Cordova) kasus narkoba.
10. Rodrigo Gularte (WN Brasil) kasus narkoba.
11. Andrew Chan (WN Australia) kasus narkoba.

(Mut)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya