Liputan6.com, Jakarta Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi mempertanyakan mengapa peristiwa meninggalnya dua pasien terkait tertukarnya obat Bunavest Spinal hanya di RS Siloam Karawaci.
Menurut Tulus, kemungkinan kesalahan prosedur ada di rumah sakit. "Dokter atau rumah sakit sebelum memberikan tindakan atau obat, wajib menanyakan pada pasien apakah mengalami alergi," katanya.
Maka itu, dia berharap agar BPOM tidak hanya fokus memeriksa Kalbe Farma, tapi juga Badan Pengawas Rumah Sakit dalam memeriksa prosedur medis Rumah Sakit Siloam Karawaci.
"Biar semuanya jelas dan tuntas. Secara normatif kedua pihak, yakni RS Siloam Karawaci dan PT Kalbe Farma, harus bertanggung jawab atas meninggalnya dua pasien," tegasnya.
Advertisement
Sebelumnya, dua pasien terkait kasus urologi meninggal setelah mendapatkan pemberian injeksi Buvanest Spinal. Awalnya kedua pasien mengalami kejang dan panas, lalu gatal-gatal, dan langsung masuk ke perawatan ICU. Kurang dari waktu 24 jam, pada Kamis (12/2) kedua pasien meninggal.
Menengarai kasus tersebut, pihaknya akan meminta keterangan dari Kementerian Kesehatan, BPOM dan RS Siloam untuk memberikan penjelasan kepada Komisi IX DPR RI.
Sementara itu, pihak PT Kalbe Farma menyatakan telah menarik secara sukarela obat anastesi Buvanest Spinal dan Asam Tranexamat terkait meninggalnya dua pasien di Rumah Sakit Siloam Karawaci, Tangerang. Penarikan dilakukan secara nasional sejak 12 Februari lalu.
"Itu tindakan preventif kami, sebelum ada instruksi kami sudah tarik semua dari peredaran,” kata Hari Nugroho, Head of External Communications PT Kalbe Farma Tbk.
Hari mengatakan yang ditarik adalah dua batch Asam Tranexamat Generik 500 mg/Amp 5 ml yaitu batch 629668 dan 630025. Sedangkan Buvanest 0,5 persen Heavy 4 ml, seluruh batch-nya ditarik dari peredaran.
Sedangkan, BPOM menyatakan telah membekukan izin beredar dan menghentikan produksi obat Buvanest Spinal dari pasaran. Hal itu dilakukan sampai investigasi BPOM atas penyebab kematian dua pasien RS Siloam Karawaci ditemukan.
Menilik kasus kesalahan obat ini, lanjut Tulus, pada Agustus 2014, RS Siloam Karawaci dituding melakukan malpraktik oleh salah satu pasiennya, Dasril Ramadhan, dan RS tersebut dituntut Rp 500 miliar. Tuntutan tersebut dilakukan di PN Tangerang dan sidang perdana dilakukan pada 27 Agustus 2014 dengan perkara register no 470/PDT.G/2014/PN.TNG.
Pada 3 April 2008, AB Susanto juga melaporkan RS Siloam Karawaci atas dugaan malpraktik terhadap dirinya ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dan menggugat rumah sakit tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan perkara No 237/pdt.G/2009/PN.JKT.Ut dan berakhir kandas.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amelia Anggraini mengatakan kasus meninggalnya dua pasien RS Siloam Karawaci akibat suntikan anestesi Buvanest Spinal murni kecerobohan tim medis RS bersangkutan. Dia menilai kesalahan tersebut mesti diperiksa secara hukum karena berpotensi melanggar Undang-Undang.
"Hal ini berpotensi melanggar UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit," kata Amelia kepada wartawan, Rabu (18/2).
Amelia berpendapat hak pasien adalah untuk memperoleh layanan kesehatan yang manusiawi serta keselamatan tertera dalam Undang-Undang. "Pelayanan kesehatan adalah hak setiap orang yang dijamin konstitusi."