Pengamat: Nasabah Mau Larikan Dana ke Luar Negeri Patut Dicurigai

Pengamat perpajakan UI, Darussalam mengungkapkan, pengumpulan data nasabah perbankan sudah menjadi standar di banyak negara untuk pajak.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 18 Feb 2015, 20:47 WIB
Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Perpajakan dari Universitas Indonesia (UI) Darussalam mendukung penuh upaya pemerintah yang mewajibkan perbankan menyerahkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) pemilik deposito atau deposan. Pemerintahan Jokowi tak perlu gentar dalam pelaksanaan upaya tersebut.

Menurut dia, pengumpulan data para deposan tidak haram atau melanggar Undang-undang (UU) Perbankan. Salah satu pasal UU Perbankan menyebut Ditjen Pajak dapat mengakses data atau informasi nasabah untuk kepentingan pajak.

"Selama ini, data pemotongan bunga nasabah hanya dilaporkan gelondongan. Tapi sekarang mereka minta detail sampai berapa jumlah pokok atau nilai deposito dan tabungan," terang Darussalam saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu (18/2/2015).

Dia menjelaskan, tujuan Ditjen Pajak untuk melakukan kroscek antara pembayaran bunga atau pajak deposito dan tabungan dengan jumlah aset kekayaan yang dilaporkan dalam SPT. "Jadi bukti potong lengkap ini sebagai alat kroscek menguji kebenaran aset nasabah. Sudah benar belum bayar pajaknya," ujar Darussalam.

Lebih jauh dikatakan Darussalam, pengumpulan data nasabah perbankan sudah menjadi standar di banyak negara untuk kepentingan pajak. Dengan demikian, dia berpendapat, pemerintah harus mencurigai nasabah bank yang mengancam akan menarik dananya besar-besaran dan menyimpannya di bank luar negeri.

"Kalau ada ancaman melarikan dana ke luar negeri, itu yang patut dipertanyakan, perlu dicurigai. Jika nasabah sudah melaporkan SPT benar, harusnya nggak ada masalah ya," papar dia.

Dirinya menilai, pemerintah harus segera merevisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), bukan UU Perbankan. Pasal 35 UU KUP menyebut, apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Dirjen Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta.

"Masalah ada di UU KUP, karena permintaan akses data nasabah hanya mencakup tiga kepentingan, yakni penagihan pajak, pemeriksaan dan penyidikan. Jadi harusnya diperluas lewat amandemen," harap Darussalam. (Fik/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya