Liputan6.com, Jakarta PERINGATAN: Spoiler Alert! Esai film ini mengungkap inti cerita Whiplash. Sebaiknya dibaca saat sudah nonton filmnya.
Advertisement
"Do we like this? … So this is jazz, huh?"
—pengantar Stanley Crouch di album Wynton Marsalis Soul Gestures in Southern Blue, dikutip dari Seno Gumira Ajidarma, Jazz, Parfum dan Insiden (1996)—
Pada suatu ketika, tepatnya 1996, di penghujung rezim Orde Baru, Seno Gumira Ajidarma menulis risalah yang di punggung bukunya ditulis: "Mau disebut fiksi boleh, mau dianggap fakta terserah—ini cuma roman metropolitan." Risalah berwujud roman itu berjudul Jazz, Parfum, dan Insiden.
Sejarah sastra kita kemudian mencatat, buku itu adalah sebuah ikhtiar penulisnya atas praktek yang ia sebut "ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara." Seno ingin memaparkan kekejian militer Orde Baru pada rakyat Timor Timur. Tapi, di masa itu, ia tak mungkin menggelontorkan fakta sebagaimana adanya dalam laporan berita. Di situ sastra mengambil alih peran jurnalistik.
Yang sudah membacanya tentu tahu, struktur buku itu terdiri dari tiga alur, yakni tokoh Aku, redaktur sebuah majalah, yang sedang membacai laporan seorang wartawati, pemaparannya tentang wanita-wanita dan parfum mereka, serta esai tentang jazz.
Dalam pertanggungjawabannya kemudian atas roman di atas, Seno menulis (Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara , edisi 2005), "Tentu saja alur jazz dan parfum hanya ada untuk mengacaukan mata sang penyensor dari apa yang saya perjuangkan: memuat laporan insiden secara lengkap." Insiden yang dimaksud adalah Insiden Dili yang terjadi 12 November 1991, saat militer Orde Baru membunuhi demonstran damai di Dili, Timor Timur. Pers masa itu dilarang bicara blak-blakan. Makanya, Seno bersiasat.
Sebuah siasat yang anggun. Andai bagian jazz di buku Jazz, Parfum, dan Insiden dicabut dan diterbitkan sebagai karya sendiri, hasilnya bakal jadi sebuah buku musik yang asyik. Esai panjang Seno adalah sebuah risalah tentang jazz yang tak hanya berisi pengetahuan tentang musik itu, tapi juga punya nilai sastrawi.
Di awal risalahnya tentang musik jazz, Seno Gumira Ajidarma memaparkan berbagai upaya mendefenisikan "jazz". Katanya, jazz bisa berarti apa saja. Jazz, tentu saja, berangkat dari sebuah pembebasan sub-kultur dari rasa rendah diri, yakni sub-kultur budak-budak hitam dari Amerika keturunan Afrika. Namun, yang penting dari musik ini bukan semata darimana asalnya.
"Kita tidak usah menjadi ahli musik untuk menyukai jazz," tulis Seno. Tidak juga harus tahu sejarahnya. Tidak penting jazz itu apa.
"… (Y)ang penting kita dengar saja musiknya. Rasa yang ditularkannya. Emosi yang diteriakannya. Jeritan yang dilengkingkannya. Raungan yang menggemuruh memuntahkan kepahitan,” tulis Seno lagi di Jazz, Parfum, dan Insiden.
Poin penting lain yang ditekankannya saat mencoba mendefenisikan jazz adalah "improvisasi". Pengarang belasan buku kumpulan cerpen itu bilang, hakikat jazz adalah improvisasi. Dalam jazz kita mendengar instrumen yang berdialog. Saxophone Charlie Parker saling kejar-mengejar dengan terompet Dizzy Gillespie, Seno memberi contoh. Ia kemudian menyimpulkan, "Jazz adalah suatu percakapan akrab yang terjadi dengan seketika, spontan dan tanpa rencana."
Di ujung bab tentang pemaparan defenisi jazz, Seno ber-filosofi, "Apakah hidup seperti jazz? Kehidupan, seperti jazz, memang penuh improvisasi."
***
Saat menonton film Whiplash, saya teringat pemaparan Seno Gumira Ajidarma tentang jazz di buku Jazz, Parfum, dan Insiden dan kemudian memeriksanya lagi usai nonton.
Adegan film Whiplash.
Dan ternyata saya menemukan kenyataan berbeda antara jazz sebagaimana dipaparkan Seno dengan musik jazz yang tersaji di film Whiplash.
Di Whiplash, jazz tak pernah mewujud dalam sebuah improvisasi. Jazz adalah musik yang terukur. Jazz seperti sebuah ilmu pasti. Eksakta. Not-not balok laksana rumus matematika. Ada nada dan tempo yang harus dipatuhi. Ketika terasa berada di luar jalur, pemusiknya diingatkan: "Not quite my tempo."
Mungkin memang seperti itu saat musik menjadi cabang pendidikan. Untuk menjadi pemusik handal lewat sekolah musik, sang musikus dididik terlebih dahulu mematuhi berbagai "rumus" dan "jurus".
Namun, pertanyaannya, masihkah kemudian bermusik menjadi asyik?
Antara Whiplash dengan Full Metal Jacket dan Dead Poets Society
Pertanyaan itu tampaknya yang turut diajukan Whiplash. Sutradaranya, Damien Chazelle (seorang jenius yang baru bikin dua film, termasuk Whiplash, dan berusia belum genap 30 tahun), ingin mengetengahkan, apa yang terjadi saat bermusik jadi sebuah obsesi yang irasional.
Syahdan, di film ini kita melihat hubungan guru dan murid di sebuah sekolah musik di New York. Sang guru Terence Fletcher (diperankan J.K. Simmons) dan muridnya, Andrew Neiman (Miles Teller).
Sejak awal film, kita melihat tokoh Fletcher begitu dihormati mahasiswa sekolah musik itu. Berada di bawah gemblengannya adalah impian setiap mahasiswa di sana. Dan Neiman mendapat kesempatan itu.
Dari sini segala mimpi buruk bermula.
Saya bisa saja mengatakan Fletcher adalah seorang "dosen killer". Tapi istilah itu akan terasa terlalu—mengutip ucapan Fletcher saat melihat not balok milik dosen lain dengan tatapan merendahkan—"cute".
Fletcher bukan sekadar "dosen killer". Ia lebih tepat dibilang seorang monster; atau bisa juga iblis yang ingin mencerabut rasa kemanusiaan kita.
Saya teringat tokoh di film lain saat menyaksikan sosok Fletcher. Pertama adalah John Keating, guru sastra di film Dead Poets Society (1989) yang diperankan mendiang Robin Williams. Kedua adalah Sersan Pelatih Hartman (diperankan R. Lee Ermey) di Full Metal Jacket (1987) karya Stanley Kubrick.
Adegan film Dead Poets Society.
Pada tokoh pertama, kita melihat bagaimana seorang guru yang baik menjadi panutan murid-muridnya. John Keating datang ke sebuah sekolah tua yang kolot. Di sana ia memperkenalkan puisi sebagaimana mestinya. Murid-muridnya berubah. Jiwa-jiwa yang terkekang jadi bebas.
Dalam salah satu Catatan Pinggir-nya (lihat buku Catatan Pinggir 4, 1995), Goenawan Mohamad menulis bagaimana dampak pengajaran puisi bagi murid-murid di Dead Poets Society: "Anak-anak muda di sekolah itu segera menghambur ke alam imajinasi dan kebebasan. Mereka seakan kena sulap dan masuk ke dalam gelora hati yang terlarang, ke dalam cita-cita yang haram, ke dalam sukacita yang mencemaskan."
Kebalikan dari John Keating adalah Sersan Pelatih Hartman. Di sebuah barak militer di masa Perang Vietnam, ia melatih pemuda-pemuda Amerika sebelum diterjunkan ke medan perang.
Lewat Full Metal Jacket, Kubrick sebetulnya sedang mengkritik militerisme. Ia menggambarkan bagaimana militerisme kala berada di luar batas kemanusiaan. Para calon prajurit dihinakan dan dilatih dengan disiplin yang sangat keras serta dihilangkan personalitas mereka. Sisi kemanusiaan mereka dihapus dan tinggal menjadi sekumpulan mesin perang.
Salah seorang peserta pelatihan, Pratu Leonard Lawrence (Vincent D’Onofrio), yang dipanggil Gomer Pyle, menjadi bulan-bulanan dalam proses ini. Pyle seorang prajurit berbadan tambun dan berintelegensi rendah sehingga sulit baginya untuk mengikuti keseluruhan pelatihan tersebut.
Adegan film Full Metal Jacket (1987).
Namun pada akhirnya, Pyle berhasil dididik jadi mesin perang oleh Hartman. Pyle menjadi seorang mesin pembunuh dengan mata yang mendelik ke atas. Kemanusiaannya hilang.
Meski demikian, proses dehumanisasi total ini harus dibayar mahal baik oleh Hartman maupun Pyle. Ia menembak dirinya sendiri setelah terlebih dulu menembak sersan pelatihnya.
Advertisement
Hakikat Guru-Murid Whiplash
Sebuah dehumanisasi juga kita saksikan dalam Whiplash. Fletcher adalah bentuk lain dari Hartman di Full Metal Jacket. Ia menggembleng muridnya begitu keras hingga si murid tak punya obsesi lain kecuali memuaskannya, menjadi yang terbaik menurutnya. Hal lain jadi tak penting lagi. Kita melihat Neiman memutus pacarnya demi bisa konsentrasi main drum. Sungguh, sampai ketika nonton film ini, saya tak pernah mengira bermusik bisa begitu membahayakan, bahkan bisa mencerabut akar kemanusiaan seseorang.
Dalam ulasannya, kritikus film majalah Rolling Stone Peter Travers menyebut Whiplash mengajukan sebuah pertanyaan provokatif: Sampai di mana seorang manusia berkorban untuk memenuhi hasrat menguasai sesuatu sampai sempurna?
***
Di salah satu momen klimaks Dead Poets Society, kita melihat bagaimana seorang murid yang tak tahan cobaan untuk mengikuti kata hatinya namun ditentang keras ayahnya, pada akhirnya mengambil jalan pintas yang tragis.
Momen senada kita temukan dalam bentuknya yang lain di Whiplash. Kita mendengar ada seorang anak didik Fletcher gantung diri lantaran depresi. Saya sempat mengira si tokoh kita, Neiman bakal mengambil jalan serupa.
Hubungan guru-murid baik di Dead Poets Society ataupun Whiplash sama-sama toxic alias beracun. Di dua film itu, kita melihat bagaimana para murid terinspirasi oleh guru masing-masing tapi kemudian bertindak ekstrim.
Seperti John Keating di Dead Poets Society, Fletcher sejatinya adalah guru yang baik. Pada hakikatnya, seorang guru ingin muridnya pintar, menguasai bahan yang diajarkan, dan bila perlu lebih cerdas dari sang guru.
Itu sebabnya, saat kita mengira Whiplash akan berakhir jadi duel Neiman versus Fletcher, di klimaks kita justru melihat Fletcher membimbing Neyman menyuguhkan permainan drum terbaiknya. Sebuah akhir yang dahsyat sekaligus melegakan.*** (Ade/Rul)