Kesalahpahaman Interpretasi Gaya Lolita

Gaya lolita yang berasal dari Jepang kini begitu eksis. Namun mengapa ada reaksi negatif terhadap gaya berpakaian ini?

oleh Indy Keningar diperbarui 22 Feb 2015, 17:35 WIB
Gaya lolita yang berasal dari Jepang kini begitu eksis. Namun mengapa ada reaksi negatif terhadap gaya berpakaian ini?

Liputan6.com, Jakarta Sejak awal tahun 2000-an. Gaya Lolita yang merupakan subkultur Jepang mulai santer di belahan dunia lainnya. Sekarang ini kaum hawa berbagai usia di negara-negara Barat maupun Timur ikut-ikutan bergaya imut dengan gaun-gaun manis dan anggun.

Pada dasarnya, gaya Lolita terinspirasi dari elemen-elemen fashion era Roccoco asal Perancis dan era Victoria Inggris. Pada era-era inilah fashion wanita yang semula didominasi warna-warna gelap perlahan-lahan berubah menjadi penuh dengan warna-warna cerah.

Esensi utama dari pakaian gaya lolita adalah rok megar, aksesoris kepala seperti bando dan topi, dan banyak hiasan pita-pita dan renda pada keseluruhan busana. Selain itu, pakaian gaya lolita juga tidak bisa terlalu ketat. Semua ini ini ditujukan untuk memberi efek kekanak-kanakkan. Walau begitu, Sesuai dilansir dozodomo.com, Minggu (22/2/2015) gaya ini dibagai lagi menjadi beberapa jenis, diantaranya classic lolita (warna netral dan motif anggun seperti floral), gothic lolita (warna gelap dan pemakaian simbol-simbol ala estetika gothic) dan sweet lolita (warna-warna pastel dan aksesoris kekanak-kanakan).

Foto dok. Liputan6.com

Foto dok. Liputan6.com

Mungkin diantara Anda banyak yang belum paham bahwa tidak selamanya seorang perempuan berpakaian dan berdandan untuk menarik perhatian lawan jenis. Banyak wanita menganggap fashion merupakan ekspresi diri. Make-up dianggap merupakan padu-padan warna menggunakan wajah sebagai kanvas, dan padu padan pakaian merupakan cara mereka menunjukkan seperti apa diri mereka.

Foto dok. Liputan6.com

Sayangnya, dalam budaya patriarki, sering sekali apa yang dikenakan oleh wanita dikaitkan dengan syahwat. Inilah salah satu masalah yang dihadapi oleh komunitas pencinta pakaian lolita. Siluet kekanak-kanakkannya membuat beberapa kaum lelaki mengecam mereka sebagai "menjual diri" dengan bergaya ala anak kecil. Namun di saat yang bersamaan "lolita" menjadi genre porno berunsur pedofilia.

Dimana mereka meleset jauh. Gaya lolita merupakan gaya yang bertujuan memberikan efek elegan namun playful kepada pemakainya. Bukan siasat menggoda pria. Mungkin kesamaan nama dengan novel karya Vladimir Nabokov yang berkisah tentang pedofilia menjadi salah satu faktor kesalahpahaman. Tapi pada akhirnya, sepertinya kaum pria harus berhenti berpikir bahwa segala sesuatu yang dikenakan kaum wanita berfungsi menarik perhatian laki-laki dan ada hubungannya dengan seks. (Ndy/Liz)

 

 
 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya