Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengaku tak peduli disebut tak beretika karena menuding DPRD DKI memasukkan anggaran siluman ke dalam APBD 2015 sebesar Rp 12,1 triliun untuk membeli peralatan yang kurang penting. Bahkan jika sampai mempertaruhkan jabatannya.
"Berantem aja, gue juga demen... Saya, daripada 12,1 triliun habis buat beli barang-barang gila begitu, lebih baik saya pertaruhkan posisi saya sebagai gubernur," tegas dia di Balaikota Jakarta, Rabu (25/2/2015).
Ahok mengaku dirinya lebih memilih mempermasalahkan anggaran susupan tersebut, daripada harus memasukkannya dalam APBD demi hubungan baik dengan DPRD DKI.
"Saya harus pilih lebih baik jadi gubernur, baik-baik sama DPRD atau amankan APBD. Kalau saya memilih, lebih baik nggak jadi gubernur asal uang di APBD tidak disusupkan," tandas Ahok.
Untuk itu, mantan Bupati Belitung Timur itu berencana melaporkan perihal anggaran siluman ini ke pihak berwenang untuk dikenakan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sebab, anggaran Rp 12,1 triliun itu diusulkan untuk pembelian alat-alat yang menurut dia tidak mendesak. Bahkan penganggarannya tidak mendetil. Bahkan apabila memang dirinya tak mendapatkan gaji karena terhambatnya APBD ini, Ahok mengaku tak peduli.
"Gubernur nggak digaji, nggak apa-apa. Kecil kok gajinya Rp 6-7 juta. Siapa yang mau lapor ke Bareskrim? Ngapain ke kejaksaan? Gue mau kenakan tindak pidana pencucian uang. Kita lihat saja siapa yang masuk penjara nanti," pungkas Ahok.
Kisruh APBD DKI bermula ketika Ahok mengungkapkan adanya dugaan anggaran siluman sebesar Rp 12,1 triliun yang dimasukkan ke dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI 2015 usai disahkan oleh DPRD DKI dalam rapat paripurna yang diselenggarakan pada tanggal 27 Januari 2015.
Dalam pembahasan APBD di tingkat komisi sebelum rapat paripurna itu, Ahok menyebut salah satu wakil ketua komisi di DPRD memotong 10 hingga 15 persen anggaran yang telah disusun oleh Pemerintah Provinsi DKI, kemudian menggantinya dengan anggaran pembelian perangkat Uninterruptible Power Supply (UPS) untuk seluruh kantor kecamatan dan kelurahan di Jakarta Barat.
Setelah dicek, ternyata tak satupun camat atau lurah di sana yang merasa pernah mengajukan penganggaran pembelian UPS yang nilainya bila dibagi rata dengan jumlah kecamatan dan kelurahan yang ada di Jakarta Barat, mencapai Rp 4,2 miliar per 1 unit UPS.
Namun, dari pihak DPRD DKI melalui Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Banggar DPRD) DKI justru menyebut Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Pemprov DKI telah mencoba menyuap dalam penyusunan APBD DKI 2015 sebesar Rp 12 triliun. (Riz)
Energi & Tambang