Liputan6.com, Jakarta - Pertanyaan ini selalu terbesit di benak manusia: Bagaimana asal usul alam semesta dan kehidupan?
Ada banyak teori yang mencoba menjelaskan asal mula kosmos. Dari interpretasi orang Babilonia Kuno dalam mitos Enuma Elish -- setelah dua dewa, Marduk dan Tiamat bertempur; hingga teori yang relatif diterima oleh banyak ilmuwan: Big Bang atau Ledakan Besar, yang dicetuskan kali pertama oleh Georges Lemaitre, seorang biarawan Katolik Roma Belgia.
Teori Big Bang dianggap memberikan penjelasan paling komprehensif dan akurat yang didukung oleh metode ilmiah beserta pengamatan.
Menurut Teori Big Bang, alam semesta lahir sekitar 13,8 miliar tahun lalu. Segala sesuatu yang ada saat ini diperkirakan berasal dari titik padat, kecil, dan superpanas -- sebuah materi yang tertekan atau dipampatkan hingga menjadi titik yang kecilnya tak terbatas -- yang disebut singularitas (singularity).
Bola api itu lalu meledak dan kemudian memunculkan alam semesta dalam bentuknya yang paling primitif, paling awal.
Singularitas muncul dari perhitungan berdasarkan teori Einstein, Relativitas Umum dan persamaan lain, yang disebut Persamaan Raychaudhuri -- yang dikembangkan pada tahun 1950 oleh fisikawan Amal Kumar Raychaudhuri.
Berdasarkan gabungan teori tersebut, seluruh materi di alam semesta pada awalnya adalah sebuah titik: singularitas Big Bang.
Namun kini, Teori Big Bang ditentang.
Ahli fisika teoritis di University of Lethbridge di Alberta, Kanada, Saurya Das menawarkan formulasi baru, yang menyebut bahwa alam semesta mungkin tak pernah mengenal awal.
Jika teori itu benar, mungkin pembentukan alam semesta tidak diawali dengan sebuah ledakan besar (big bang).
"Teori kami memenunjukkan bahwa usia alam semesta mungkin tak terbatas," kata dia, seperti Liputan6.com kutip dari situs sains LiveScience, Jumat (27/2/2015).
Konsep baru tersebut juga bisa menjelaskan apa sebenarnya penyusun dark matter (materi gelap) -- materi misterius, tak terlihat yang diyakini menyusun sebagian besar alam semesta.
Saurya Das menambahkan, konsep singularitas Big Bang mungkin tak sepenuhnya benar. Dalam formula Einstein, hukum fisika memecahkan apa yang terjadi sebelum singularitas. Namun, para ilmuwan mengeneralisasi seolah-olah persamaan fisika masih berlaku. Demikian ungkap Robert Brandenberger, ahli kosmologi teoritis dari McGill University, Montreal, yang tak terlibat dalam studi.
"Jadi ketika kita mengatakan, alam semesta bermula dari sebuah ledakan besar, sejatinya kita tak punya hak untuk mengatakannya," kata dia kepada LiveScience.
Ada lagi masalah lain dalam dua teori yang paling dominan, mekanika kuantum dan relativitas umum, tidak dapat didamaikan. Mekanika kuantum mengatakan perilaku partikel subatom kecil pada dasarnya tak menentu. Hal ini bertentangan dengan teori relativitas umum Einstein yang deterministik, yang berarti sekali hukum alam diketahui, masa depan adalah akibat yang ditentukan oleh masa lalu.
Dan, tidak ada teori yang menjelaskan apa itu sebenarnya materi gelap (dark matter).
Koreksi Kuantum
Saurya Das dan koleganya berupaya menyelesaikan sejumlah masalah. Untuk melakukannya, mereka menggunakan cara lama memvisualisasikan mekanika kuantum, yang disebut mekanika Bohmian -- yang mengandung variabel tersembunyi yang menentukan perilaku aneh dari partikel subatomik. Dan tak seperti formula lain dalam mekanika kuantum, ia menyediakan cara untuk mengkalkulasi lintasan partikel.
Memanfaatkan bentuk kuno dari teori kuantum, para ahli mengkalkulasi 'koreksi kecil' yang bisa dimasukkan dalam teori relativitas umum Einstein.
Jadi, apa kesimpulannya?
Berdasarkan formulasi baru, tak ada singularitas, dan bahwa usia alam semesta tak terhingga tuanya.
Das menambahkan, salah satu cara untuk menafsirkan istilah koreksi kuantum dalam persamaan mereka terkait dengan kepadatan dark matter.
Jika demikian, alam semesta mungkin berisi superfluid yang terdiri dari partikel hipotesis, misalnya partikel pembawa gravitasi yang disebut graviton, atau partikel sangat dingin dan mirip 'hantu' yang disebut axion.
Salah satu cara untuk menguji teori yang mereka hasilkan adalah melihat bagaimana materi gelap didistribusikan di alam semesta, lalu membandingkan kecocokannya dengan superfluid.
"Jika hasil yang kami dapatkan cocok, bahkan jika hanya 'kira-kira', itu akan sangat luar biasa," kata Das.
Bagaimanapun, persamaan tersebut hanya salah satu cara untuk merekonsiliasi mekanika kuantum dan relativitas umum. Dan di sisi lain, alam semesta dalam suatu waktu pernah berukuran sangat kecil dan panas.
"Fakta bahwa ada bola api sangat panas di masa awal pembentukannya: itu telah terkonfirmasi," kata Robert Brandenberger. Namun, ketika Anda berusaha kembali ke singularitas, saat itu lah masalah muncul."
Teori baru yang ditawarkan Saurya Das dan koleganya dijelaskan dalam makalah yang dipublikasikan jurnal ilmiah Physical Letters B, pada 4 Februari 2015 lalu. (Ein/Tnt)
Advertisement