Sidang Kasus Bupati Karawang Ungkap Suap dari Perusahaan

KPK diharapkan menjerat pihak anak perusahaan PT Agung Podomoro Land (APL) itu.

oleh Oscar Ferri diperbarui 04 Mar 2015, 01:18 WIB
Bupati Karawang dan Istri Dijerat KPK Dengan Pasal Pencucian Uang. (Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Perkara Bupati Karawang nonaktif Ade Swara bersama istrinya Nurlatifah yang bergulir di Pengadilan Tipikor Bandung mengungkap fakta sesungguhnya. Fakta baru itu, yakni perkara yang menjerat keduanya bukan kasus pemerasan, melainkan penyuapan.

Kuasa hukum Ade Swara dan Nurlatifah, Haryo Budi Wibowo mengatakan, hal tersebut didasari dari keterangan sejumlah saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selain itu, keterangan ahli yang disampaikan pada sidang hari ini juga mengungkapkan demikian.‎ Para saksi yang dihadirkan oleh JPU KPK dan mendengar keterangan ahli pidana Chairul Huda dan Djisman Samosir memberi kesaksian bahwa kasus ini bukan pemerasan.

"(Dari saksi) terlihat sekali bahwa perkara ini adalah merupakan perkara suap, bukan pemerasan," ujar Haryo.

Fakta tersebut seakan menepis tuduhan KPK melalui penuntut umumnya yang intinya mendakwa Ade dan Nurlatifah dengan sangkaan pemerasan, terkait pengurusan izin Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) atas nama PT Tatar Kertabumi di Kabupaten Karawang.

Menurut fakta persidangan, kata Haryo, anak perusahaan PT Agung Podomoro Land (APL) itu memang berupaya agar pengurusan SPPL berjalan mulus. Caranya disinyalir melalui lobi menyogok atau menyuap. Fakta itu juga diperkuat dari pihak PT Tatar Bumi yang telah diperiksa dalam persidangan.

"Hal ini terlihat dari bagaimana pihak swasta yang ingin sekali perizinannya di golkan, dengan menggunakan berbagai cara, yaitu dengan lobi-lobi dan 'uang pelicin', sebagaimana meraka telah diperiksa dalam persidangan," ujar Haryo.

Berbekal fakta tersebut, lanjut Haryo, KPK kemudian dapat menindaklanjutinya. KPK diharapkan menjerat pihak anak perusahaan PT Agung Podomoro Land (APL) itu.

"Karenanya kami meminta agar KPK dapat juga meminta pertanggungjawaban pidana para pihak swasta yang terlibat, agar penegakan hukum terhadap perkara ini objektif. Kami tidak ingin KPK dinilai oleh masyarakat takut dan tunduk oleh kekuatan swasta tertentu," kata Haryo.

"Dan ini tentunya tidak baik bagi perkembangan pemberantasan korupsi kedepan. Prinsipnya siapa yg bersalah harus diganjal hukuman, tidak boleh ada yang dilindung. Hukum tidak boleh hanya tajam kepada salah satu pihak," sambung dia.

Haryo menengarai, dakwaan jaksa KPK terkait sangkaan pemerasaan terkesan memaksakan. Sebab, dikhawatirkan sangkaan itu menjadi celah para pihak swasta berdalih jika tersangkut tindak pidana korupsi.

Dengan dakwaan Jaksa KPK saat ini yang memaksakan kasus ini pemerasan, pihaknya khawatir ke depan banyak pihak swasta yang mengurus perizinan dengan cara-cara melobi dan menggunakan uang. Ketika hal ini menjadi persoalan hukum, maka ramai-ramai pihak swasta mengatakan bahwa ia diperas, dan memberikan uang karena terpaksa.

Padahal, kata Haryo, jika pihak yang mengajukan perizinan dan perizinan tersebut ditolak atau sekian lama tidak dikabulkan, maka sesungguhnya yang bersangkutan diberikan exses to justice untuk mengajukan gugatan Tata Usaha Negara dan dapat menyelesaikan melalui arbitrase.

"Jika tidak alasan pihak swasta memberikan uang pelicin kepada kepala daerah karena terpaksa, karena pemohon izin telah diberikan exses to justice tersebut," ucap Haryo.

Bupati Karawang nonaktif, Ade Swara dan istrinya Nurlatifah sebelumnya didakwa jaksa KPK melaukan pemerasan terhadap CEO PT Tatar Kertabumi dan pencucian uang. PT Tatar Kertabumi merupakan salah satu anak perusahaan PT Agung Podomoro Land (APL).

Keduanya diancam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Keduanya juga dijerat dengan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. (Rmn/Ali)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya