Liputan6.com, Jakarta PERINGATAN: Ulasan Chappie ini mungkin mengandung spoiler atau bocoran cerita.
"What's a conscience?" asked Pinocchio.
Advertisement
"That’s the small voice that people don’t always listen to," answered Jiminy Cricket.
—Dikutip dari buku cerita adaptasi Pinokio versi Walt Disney—
Sudah sejak lama sekali manusia mengangankan mencipta makhluk yang bisa bertindak membedakan benar-salah, memiliki rasa, serta bisa berpikir. Berbagai karya literatur bertema ini telah lahir.
Sekitar lebih dari 130 tahun lalu, tepatnya 1882, terbit novel anak-anak berjudul Le Avventure di Pinocchio (Petualangan Pinokio) di Italia. Penulisnya Carlo Collodi. Pada 1940-an, Walt Disney mengadaptasinya jadi film animasi yang terus dikenang orang hingga kini.
Baik di novel atau film animasinya, Pinokio berkisah tentang boneka kayu yang dicipta Geppetto, seorang tukang kayu tua yang miskin.
"Nama apakah yang cocok untuknya?" pikir Geppetto. "Ah ya, Pinokio! Nama itu bagus."
Kebanyakan dari kita hapal cerita lanjutannya. Di malam hari sebelum tidur, Geppetto berdoa boneka kayunya hidup. Peri Biru kemudian berbaik hati menjentikkan tongkat sihirnya. Lalu, hiduplah boneka Pinokio.
"Apakah saya bocah SUNGGUHAN?" tanya Pinokio pada Peri Biru.
"Tidak, Pinokio," ia menjawab. "Pertama kau harus membuktikan dahulu bahwa dirimu seorang pemberani, jujur, dan tidak ingin menang sendiri. Kau juga harus belajar memilih antara benar dan salah."
Kita kemudian tahu, Pinokio tak selalu bisa membedakan salah dan benar. Ia yang seharusnya sekolah malah membolos. Ia diperdaya makhluk licik dan Pinokio dijual pada pemilik pertunjukkan boneka kayu. Pinokio kemudian juga berhasil diperdaya lagi dan mendapati dirinya jadi keledai di sebuah taman bermain.
Saya teringat Pinokio saat menonton Chappie.
Alkisah, di masa depan yang tak terlalu lama lagi di Johannesburg, Afrika Selatan, kejahatan begitu merajalela. Kepolisian sampai harus menggunakan robot untuk memberantas kejahatan.
Pada sebuah penyerbuan ke sarang penjahat, sebuah robot kena bazooka. Dadanya bolong. Robot itu tak mungkin diselamatkan dan siap dihancurkan.
Di pabrik pembuat robot untuk polisi kita bertemu Deon Wilson (Dev Patel). Ia pencipta robot-robot polisi di Johannesburg. Ia laksana Geppetto dalam cerita Pinokio.
Deon punya ide liar, membuat program yang memungkinkan robot punya kesadaran, conscience, bisa berpikir, bertindak dan berkehendak selayaknya manusia. Bukan lagi mesin yang hanya kenal satu perintah sesuai program.
Ide Deon ditolak pemimpin perusahaan (diperankan Sigourney Weaver). Bagi perusahaan tak penting sebuah robot yang bisa merasa dan berpikir. Namun Deon tak menuruti perintah bosnya. Ia memasukkan programnya pada robot yang rusak.
Di tempat lain, tiga penjahat Ninja, Yolandi dan Amerika punya rencana. Untuk melawan polisi robot, penciptanya harus lebih dulu diculik. (Ninja dan Yolandi omong-omong musisi nyentrik dari Afrika Selatan dengan dandanan seperti di film.)
Saat pulang menuju rumahnya, Deon diculik komplotan Ninja. Deon diancam untuk mematikan semua robot-robot polisi. Deon mengatakan tak bisa melakukan itu. Ketiga penjahat menemukan hal menarik di mobil Deon: robot rusak. Maka, Deon diminta merakit robot itu lalu memasukkan program baru ciptaannya.
Dari situlah Chappie tercipta. Deon ingin robotnya jadi robot baik, sedang para penjahat ingin si robot membantunya melakukan aksi kriminal.
Di sini kita kemudian bertemu bagian yang mengingatkan kita pada cerita Pinokio. Seperti Pinokio, Chappie adalah robot yang lugu. Ia seperti bayi yang harus diajari berbagai hal dari awal. Termasuk membedakan mana yang baik dan buruk. Deon mengajari Chappie jadi robot baik, tapi tak demikian dengan Ninja. Chappie dididik jadi penjahat. Ia menyiapkan Chappie untuk melakukan perampokan dan pencurian.
Adegan film Chappie. (dok.Sony Pictures)
Sementara itu, di lain pihak, ada Vincent (Hugh Jackman) yang kalah bersaing di pabrik pembuat robot lantaran robot ciptaannya tak dipakai dinas kepolisian. Ia berang pada Deon dan juga menyiapkan rencana licik lain.
Persaingan antara Vincent dengan Deon bisa kita rujuk pada cerita Robocop (1987) saat dua pegawai OCP, perusahaan pembuat robot di cerita Robocop, bersaing mencipta robot mana yang paling efektif memberantas kejahatan.
Kehadiran Hugh Jackman membuat Chappie juga sebuah kisah persaingan dalam korporasi. Namun, yang paling menarik di Chappie tetaplah tema besar yang sudah demikian lama diidamkan manusia: Mungkinkah kita mencipta mesin yang bisa berpikir dan memiliki kesadaran seperti kita?
Setelah mengkritik sistem Apartheid yang pernah berlaku di Afrika Selatan (District 9) dan memboyong persaingan kelas antara si kaya dengan si miskin (Elysium), Neill Blomkamp kali ini membawa pesan yang terasa lebih personal. Lewat penggambaran Johannesburg yang demikian brutal, ia mungkin ingin mengkritik kejahatan di kampung halamannya.
Namun, lebih dari itu, Chappie ingin mengetuk rasa kesadaran kita sebagai manusia. Jika sebuah robot saja bisa membedakan baik dan buruk, benar dan salah, kenapa kita sebagai manusia yang justru berbuat licik, tak jujur dan jahat?
Tidak seperti Pinokio, di akhir film, Chappie tak jadi manusia. Namun, ia lebih manusiawi meski wujudnya tetaplah sebuah robot.** (Ade/Feb)