Liputan6.com, Jakarta - Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) mendesak pemerintah untuk melindungi buruh perempuan dan segera membatalkan pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN/ MEA 2015.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada Minggu (8/3/2015).
Advertisement
Koordinator aksi FPBI, Yuni Fitri mengatakan, MEA yang akan berlaku efektif 31 Desember 2015 hanya akan menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Apalagi karena 80 persen buruh manufaktur perempuan hanya lulusan Sekolah Dasar (SD), sehingga menutup kesempatan buruh perempuan untuk memilih pekerjaan dengan upah layak.
"Selama ini buruh perempuan paling sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, baik upah, hak cuti melahirkan dan haid, hingga perlakuan intimidasi dari perusahaan. Mayoritas buruh perempuan Indonesia berpendidikan rendah, sudah pasti akan kalah bersaing jika MEA terealisasi," ujar dia dalam keterangan resminya di Jakarta.
Yuni menegaskan, arus bebas tenaga kerja ASEAN yang akan berlaku menuntut tenaga kerja Indonesia memiliki produktivitas yang tinggi, sementara pendidikan dan kualitas tenaga kerja Indonesia masih sangat jauh tertinggal dibanding Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand.
"Perusahaan akan lebih memilih mem-PHK buruh perempuan yang berskill rendah dan menggantinya dengan buruh asing yang berpendidikan tinggi," lanjutnya.
Dia menyebut, hasil survei International Labour Organization (ILO) pada 2013 memperlihatkan sebesar 57 persen industri di kawasan ASEAN lebih memilih tenaga kerja yang berlatarbelakang pendidikan tinggi dengan skill tertentu, seperti sekolah menengah kejuruan dan universitas.
Sementara data BPS menyebutkan, tenaga kerja Indonesia lebih banyak didominasi oleh mereka yang berlatarbelakang pendidikan belum tamat SD atau SD dan SMP yang menyentuh hingga angka 77,8 Juta orang.
Terlebih menurut ADB dan ILO, tenaga kerja Indonesia paling banyak yang memiliki skill di bawah kualifikasi standar yaitu sebesar 63 persen.
"Pada saat MEA berlaku nanti, kasus PHK akan marak terjadi, dan 90 persen dari korban PHK adalah buruh perempuan," tandas Yuni. (Fik/Ahm)