Liputan6.com, Jakarta - Produktivitas pedesaan rendah, infrastruktur buruk ditambah kelangkaan sarana produksi pertanian menjadi masalah yang harus dihadapi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK).
Dalam visi Jokowi-JK atau yang lebih dikenal dengan sebutan Nawa Cita, menyebutkan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa menjadi salah satu upaya yang dilakukannya hingga masa pemerintahannya berakhir pada 2019.
Advertisement
Menurut Ketua Lingkar Kajian Ekonomi Nusantara (L-KEN), Didin S. Damahuri, hal ini memberikan legitimasi untuk membangkitkan desa setelah masa orde baru hingga reformasi, peranan negara kurang menciptakan ekonomi pasar yang berkeadilan.
"Perspektif Nawa Cita dengan nuansa untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian ekonomi dengan membangun dari pinggiran, sebenarnya merupakan paradigma yang menentang arus terhadap paradigama pertumbuhan ekonomi tinggi yang menimbulkan ketimpangan," kata Didin.
"Karena itu sangat tidak mudah bagi pemerintah untuk membangun pedesaan. Apalagi dengan lingkungan strategis ekonomi global yang tidak menguntungkan seperti jatuhnya harga komoditas, berakhirnya banjir likuiditas keuangan, krisis Eropa yang belum sepenuhnya selesai, naiknya tingkat bunga Federal Reserve Amerika Serikat, menurunnya pertumbuhan negara emerging market," lanjut Didin di Grand Sahid Jaya, Senin (9/3/2015).
Meski ada kucuran dana APBN, lanjut Didin, total penyaluran dana ke desa diperkirakan mencapai Rp 20 triliun dengan penyaluran ke setiap desa rata-rata Rp 1,2 miliar. Penyaluran dana ini juga terhadang oleh sisa pengaruh pendekatan orientasi pertumbuhan masa sebelumnya.
"Misalnya, pernyataan Presiden Jokowi dalam APEC and ASEAN Summit, bahwa Indonesia aktif dalam Global Supply Chain. Hal itu akan kontradiktif dengan visi, karena banyaknya problem terkait dengan produktivitas dan daya saing ekonomi nasional yang masih rendah. Selain itu pelibatan ekonomi pertanian berbasis korporasi besar, yang dimana diserahkan kepada pasar dan meniadakan negara. Hal itu membuat daya saing petani, nelayan, dan warga pedesaan hilang atau tidak punya akses dalam memanfaatkan pembangunan," jelasnya.
Karena itu, menurut Dillon, pemerintah perlu payung berupa grand design pembangunan yang prinsipnya lekat dengan konstitusi-UUD 45 dalam rangka mencapai kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dan bukan semata kemakmuran orang per orang, termasuk kesejahteraan warga pedesaan.
"Dengan tujuan nasional tersebut, peran negara yang kredibel (bersih, efisien dan efektif) serta peran swasta, BUMN, dan koperasi yang governance dan berdaya saing tinggi yang sesuai dengan porsinya masing-masing. Diperlukan pembangunan kapasitas petani, nelayan, dan warga pedesan sehingga mampu akses dalam pemanfaatan infrastruktur fisik serta akses terhadap pasar dalam pertumbuhan ekonomi yang tinggi," tandasnya.
Didik pun meminta peran fasilitas negara untuk mendorong kelompok produktif dalam wadah gerakan koperasi serta BUMN yang relevan akan sangat penting dalam menjamin akses terhadap program-program pembangunan.
"Pencapaian swasembada pangan dan holtikultira. Lebih jauh dengan capacity building para petani, nelayan, dan warga pedesaan yang berhasil bisa juga memberikan akses dalam berbagai program pembangunan ekonomi serta pasar dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang di dorong oleh peran dunia swwasta nasional maupun internasional," pungkasnya. (Putu M/Ahm)