Solusi Kisruh APBD DKI Versi Mantan Menkeu

ICW menilai kisruh APBD DKI Jakarta bagian dari potret politik anggaran di daerah.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 09 Mar 2015, 17:52 WIB
Total 'anggaran siluman' yang dituding Ahok telah disusupkan DPRD DKI mencapai Rp 105,876 miliar.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Fuad Bawazier mengatakan, keterlibatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sangat menentukan akhir dari kisruh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI 2015.

Menkeu era Presiden Soeharto itu berpendapat, melalui peran BPK maka audit bisa dilakukan yang diyakini sebagai jalan terakhir untuk membuktikan siapa yang salah.

"Kalau sudah ada audit, gampang itu digaruk oknum DPRD, eksekutif, sampai pengusaha juga," ujar Fuad di Cikini, Jakarta, Senin (9/3/2015).

Fuad menduga, dalam kasus anggaran 'siluman' itu ada kemungkinan bukan hanya oknum DPRD DKI yang terlibat, tetapi juga eksekutif. Dalam hal ini pegawai Pemprov DKI Jakarta.

"Tidak mungkin eksekutif nggak ikut. Wong pelaksananya di sana," tutur dia.

Menurut Fuad dalam teori ekonomi, proses penyusunan APBD adalah bentuk tawar-menawar.

"Kalau anggaran, pemerintah ibarat penjual, dia ketok-ketok ke DPRD. 'Eh DPRD, saya mau jualan. Anggarannya segini, kamu mewakili rakyat gimana?' Di situlah ada tawar menawar," pungkas Fuad menganalogikan.

Potret Politik Anggaran di Daerah...


Potret Politik Anggaran di Daerah

Potret Politik Anggaran di Daerah

Indonesian Corruption Wacth (ICW) menilai kisruh APBD DKI Jakarta bagian dari potret politik anggaran di daerah.

"Soal APBD DKI bisa menjadi potret kita untuk melihat keseriusan politik anggaran wakil kita," ujar Program Manager Divisi Monotoring ICW Firdaus Ilyas di kantornya, Jakarta.

Menurut Ilyas, 'permainan' anggaran tersebut tidak hanya terjadi di Pemprov DKI Jakarta, tetapi juga di hampir seluruh wilayah Indonesia.

"Kalau potensi kemunculan dana 'siluman' di daerah, semua punya tapi eksposnya tidak ada," jelas dia.

Firdaus menjelaskan, dalam pembahasan APBD rawan terjadi penyimpangan, baik oleh legislatif maupun eksekutif. Bagi parlemen, APBD merupakan ruang 'bagi-bagi jatah' melalui penyusupan.

Sementara bagi gubernur atau pun bupati, lanjut Ilyas, pembahasan APBD bisa menjadi ajang balas budi terhadap para penyandang dana yang mendukungnya semasa kampanye.

"Caranya, dengan memilih mereka sebagai pelaksana proyek yang diadakan pemda atau pemprov. Sama-sama ada peluang terlibat, kalau di parlemen bagi-bagi, tapi untuk kepala daerah bisa jadi panggung balas jasa," tegas dia.

Ilyas menegaskan, ICW tidak bisa melakukan monitoring terhadap seluruh wilayah di Indonesia karena keterbatasan sumber daya. Kendati, APBD merupakan ruang untuk melihat keseriusan pemerintah dalam melakukan politik anggaran bagi warganya.

"Kita tidak bisa memantau seluruh wilayah, tapi inilah potret sebenarnya," pungkas Ilyas.

Maksud Tersembunyi di DPRD...?


Maksud Tersembunyi di DPRD?

Maksud Tersembunyi di DPRD?

Sementara itu, Direktur Centre for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menduga, ada maksud dan tujuan tertentu dari DPRD dalam kisruh APBD DKI.

"DPRD juga menambahkan program-program pada APBD, seperti proyek UPS dan proyek audio video interaktif, adalah aneh dan janggal," ujar Uchok di Cikini, Jakarta.

Dia juga curiga ada dalang dari kalangan pengusaha di balik kisruh APBD DKI.

"Proyek ini seperti titipan dari pengusaha hitam yang kok bias, dan tiba-tiba muncul begitu saja," sambung dia.

Menurut Uchok, kisruh APBD DKI ini hanya sandiwara untuk merebutkan pajak rakyat. "Karena pembagian anggaran dalam pembahasan tidak merata."

"Eksekutif ingin menguasai dan mengendalikan APBD 2015 secara seluruhnya, para legislatif minta bagian dari APBD 2015 ini. Akibatnya rakyat juga yang dirugikan," tandas Uchok. (Rmn/Ein)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya