Liputan6.com, Jakarta - Keputusan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly yang memenangkan kepengurusan Agung Laksono di tubuh Partai Golkar menuai polemik. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menduga, apa yang diputuskan Yasonna mengandung muatan politis.
"Ini abuse of power, politik dengan standar ganda, apa yang dilakukan Menkumham jelas politik, bukan hukum," kata Fadli Zon di saat berada di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (11/3/2015).
Jika keputusan itu tak berubah, lanjut Fadli, Yasonna telah menodai dan menginjak-injak demokrasi yang selama ini diperjuangkan. Bahkan, sikap tersebut adalah bentuk dari pemerintah yang otoritarian.
"Kalau disahkan, kewenangan Mekumham menodai, injak-injak demokrasi. Ini tanda pemerintah yang otoriter," ujar dia.
Wakil Ketua DPR itu kemudian membuka kembali cerita saat Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno mengeluarkan travel warning dan melarang pelaksanaan Munas kubu Aburizal Bakrie atau Ical di Bali beberapa waktu lalu.
"Gejala dari awal sudah terlihat, Menko Polhukam mengintervensi tempat dan tanggal," tandas Fadli Zon.
Kementerian Hukum dan HAM telah memutuskan Partai Golkar versi Munas Ancol Jakarta atau yang diketuai Agung Laksono sebagai kepengurusan partai yang sah.
Melalui surat yang ditandatangani oleh Menkumham Yasonna H Laoly, pernyataan menteri ini berdasarkan pada keputusan Mahkamah Partai Golkar yang mengabulkan untuk menerima kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol.
"Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat 5 UU Parpol Nomor 2/2011, dinyatakan bahwa putusan MP (Mahkamah Partai Golkar) bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan," ujar Yasonna Laoly di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, Selasa 10 Maret 2015. (Alv/Mvi)
Advertisement