Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah masih terlihat tenang saat kondisi dolar Amerika Serikat (AS) makin perkasa terhadap rupiah sehingga nyaris menembus 13.200. Kondisi ini dinilai hanya fenomena gejolak ekonomi dunia, bukan pertanda krisis.
"Tidak krisis, ini cuma fenomena dan masyarakat tidak perlu panik karena bukan hanya rupiah yang melemah tapi mata uang negara berkembang ikut tertekan," ujar Deputi I Bidang Fiskal dan Moneter Kemenko Bidang Perekonomian, Bobby Hamzar Rafinus di acara Microfinance Forum di Jakarta, Rabu (11/3/2015).
Advertisement
Ia menjelaskan, dalam sepekan terakhir, lebih dari 20 mata uang negara lain mengalami depresiasi. Paling hebat keterpurukan terjadi pada mata uang Rubbel Rusia, Lira Turki dan mata uang Afrika Selatan. Sementara pelemahan rupiah berada di peringkat 6 dari 20 negara tersebut.
"Ini fenomena global karena terjadi pembalikan arah dari beberapa tahun lalu. Ekonomi AS dalam kondisi baik sekali, pertumbuhan ekonominya diperkirakan akan mencapai target. AS adalah negara ekonomi raksasa yang sebelumnya sedang tidur, lalu kini bangun dan bergerak. Kalau raksasa bergerak, pasti ada goncangan di sana sini," tegas dia.
Namun pemerintah dan Bank Indonesia (BI), kata Bobby tidak akan tinggal diam dengan melakukan langkah-langkah untuk mengurangi volatilitas rupiah semakin tinggi. Caranya, lanjut dia, memperbaiki fundamental ekonomi Indonesia dengan menjaga inflasi, mengurangi defisit transaksi berjalan, dan kebijakan lain.
"Indikator makro kita baik, inflasi, defisit transaksi berjalan, defisit anggaran bergerak ke arah penurunan. Diharapkan, ini bisa memperbaiki kurs rupiah Indonesia," tandasnya.
Data valuta asing Bloomberg, Rabu pekan ini menunjukkan nilai tukar rupiah dibuka melemah cukup parah ke level 13.196 per dolar AS. Nilai tukar rupiah tercatat melemah 0,57 persen ke level 13.168 per dolar AS pada perdagangan pukul 8:56 waktu Jakarta. Masih di awal sesi perdagangan, nilai tukar rupiah masih berfluktuasi melemah di kisaran 13.145-13.198 per dolar AS.
Ekonom Standard Chartered Bank Indonesia, Eric Alexander Sugandi menjelaskan, data tenaga kerja AS pekan lalu yang melampaui ekspektasi memang menjadi sinyal baik bagi perekonomian AS dan mengirim dolar ke level yang lebih tinggi.
Bersama negara-negara berkembang lain, rupiah ikut terkena imbasnya. "Ini lebih karena faktor global, data ekonomi AS yang sangat positif. Bukan cuma rupiah saja yang melemah, tapi mata uang di negara berkembang lain juga ikut tertekan," terang Eric. (Fik/Ahm)