Kendala Polda Metro Jaya Tangani Kasus UPS

Kompolnas menyatakan, saat ini kepolisian saja masih memiliki tunggakan 7.800 kasus yang belum terselesaikan.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 14 Mar 2015, 09:13 WIB
Penampakan layar UPS di SMAN 78, Jakarta, Senin (2/3/2015). Diduga hampir semua sekolah di Jakarta menerima UPS senilai Rp 6 Miliar(Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adrianus Meliala mengatakan, kepolisian menghadapi sejumlah kendala dalam menangani kasus dugaan penggelembungan harga pengadaan Uninerruptible Power Supply (UPS), atau alat catudaya lsitrik di sejumlah sekolah di DKI Jakarta. Salah satu kendala adalah keterbatasan anggaran yang dimiliki Polri.

Menurut dia, anggaran kepolisian saat ini sudah sangat terbatas dalam menangani sejumlah perkara yang ada. "Kalau pun ditangani sudah tidak ada duitnya, apalagi anggarannya. Kami sebagai pengawas lebih concern pada yang ini," ujar Adrianus di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (13/3/2015).

Adrianus juga mengungkapkan, saat ini kepolisian saja masih memiliki tunggakan 7.800 kasus yang belum terselesaikan. "Di Polri itu ada 7.800 tunggakan kasus dari kasus yang lalu-lalu yang sudah lama tidak ditangani," kata dia.

Maka dari itu dia menilai wajar, jika hingga kini Polda Metro Jaya menaikan status perkara tersebut ke tahap penyidikan, namun belum menetapkan pihak tersangka.

"Kalau yang hari ini (UPS) ditangani dan belum ada tersangkanya, seminggu kemudian nggak masalah deh, biasa itu. Tapi 7.800 kasus yang sudah dilaporkan namun orang masih menunggu dan ternyata tidak dikerjakan, karena alasan-alasan tadi (kurang anggaran) itu bagi saya bermasalah," pungkas Adrianus.

Voorijder Bukan Pengawal Pejabat

Polda Metro Jaya memiliki seratusan sepeda motor besar atau voorijder, yang disiapkan untuk urusan pantauan lalu lintas. Namun, bukan nya digunakan sebagai sarana pelayanan publik, motor gede tersebut justru digunakan untuk pengawalan para pejabat.

Hal ini terungkap saat Kompolnas melakukan kunjungan kerja ke Satpas SIM Daan Mogot, Jakarta Barat. Pengerahan pengawal vooridjer secara melekat ini, juga dikeluhkan oleh pihak Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya.

"Polda Metro hanya punya 160 unit motor BM. Tetapi ternyata motor tersebut tidak bisa dipakai untuk melayani publik, tidak bisa dipakai untuk patroli dan seterusnya. Kenapa? Karena 160 motor itu habis dipakai untuk melayani pejabat," kata Adrianus.

Dia mengatakan, ada sebanyak 170 pejabat yang meminta pengawalan melekat anggota Satuan Patroli dan Pengawalan (Patwal) Ditlantas Polda Metro Jaya yang menggunakan motor voorijder. "Nah 10 nya lagi dari Mabes Polri," imbuh dia.

Presiden dan Wakil Presiden memang wajib diberikan pengawalan melekat. Namun belakangan diketahui ada sejumlah pejabat yang tidak semestinya mendapatkan pengawalan melekat, tetapi malah meminta fasilitas tersebut. Seperti anggota legislatif hingga Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).

"Kalau presiden dan wakil presiden dalam undang-undang protokoler memang diatur. ‎Tapi sekarang anggota DPR, DPD, Watimpres semua minta pengawalan. Maka tadi 170 BM itu sekarang habis untuk melayani mereka tiap hari," ungkap Adrianus.

Sebenarnya, menurut dia, tak menjadi masalah apabila voorijder diminta untuk sekadar mengawal perjalanan para pejabat untuk kegiatan tertentu. Hanya saja, jika pengawalan itu menjadi melekat kepada pejabat yang tak berkepentingan, sepertinya tidak tepat. Sebab voorijder sebenarnya difungsikan untuk pelayanan masyarakat.

"Kan kalau melayani pejabat bukan tugas mereka. Tapi kalau melekat, nah ini menurut saya kami sebagai komisi keberatan melihat Polri yang harus melayani pejabat. Padahal di pihak lain masyarakat teriak-teriak tuh minta kemacetan dibelah dan seterusnya," tandas Adrianus. (Rmn)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya