Liputan6.com, Jakarta - Sembilan terpidana mati yang terjerat kasus narkoba sudah dipindahkan ke Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Kendati, hingga saat ini Kejaksaan Agung belum mengumumkan kapan ekskusi mati terhadap 10 narapidana itu dilakukan.
Menjelang pelaksanaan eksekusi mati terhadap para gembong narkoba itu, tekanan terhadap Pemerintah Indonesia pun terus berdatangan. Termasuk dari dunia internasional. Mereka mendesak agar Pemerintah RI membatalkan dan menghapus hukuman mati.
Advertisement
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengungkapkan, tekanan internasional tidak hanya datang dari organisasi maupun perwakilan masyarakat internasional, namun juga dari beberapa pemimpin negara yang menolak pemberlakuan hukuman mati.
Tekanan terbaru datang dari International Narcotics Control Board (Badan Kontrol Narkotika Internasional). Mereka mengimbau agar Pemerintah Indonesia menghapus hukuman mati terhadap pengedar narkoba.
Namun imbauan itu langsung dijawab tegas oleh Pemerintah RI. Perwakilan delegasi Indonesia dalam sidang CND ke-58 di Wina, Austria pada 9-17 Maret 2015, Bali Moniaga mengatakan, pihaknya dan beberapa negara mengingatkan Presiden INCB terkait mandat dan tugas pokok INCB.
"Mandat dan tugas pokok INCB yaitu bagaimana mencari solusi dalam melawan ancaman narkoba sesuai dengan mandat dari 3 Konvensi Internasional yang mengatur mengenai pengawasan narkotika, bukan mengurusi atau intervensi terhadap pelaksanaan sanksi hukum atau yuridiksi negara," kata Bali Moniaga mengungkapkan respon Indonesia seperti dikutip dari laman bnn.go.id, Sabtu 14 Maret 2015.
Bali yang juga staf ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) Bidang Hukum dan Internasional ini menegaskan, Indonesia memiliki alasan untuk menerapkan hukuman mati. Yakni, karena RI telah menjadi target utama peredaran narkotika sehingga perlu penanggulangan ekstra keras dan komprehensif. "Oleh karena itulah, Indonesia menempatkan upaya pengurangan demand melalui pencegahan dan rehabilitasi dalam porsi prioritas yang sangat penting," ujar Bali.
Dia menjelaskan, Indonesia sudah mulai mengambil langkah untuk bergerak dinamis dalam rangka menurunkan permintaan akan narkoba melalui gerakan merehabilitasi 100 ribu penyalahguna narkotika. Langkah ini merupakan akselerasi yang sangat vital guna menurunkan angka penyalahgunaan narkotika secara signifikan.
Di sisi lain, jelas dia, untuk memproteksi negeri ini dari cengkeraman para bandar, Indonesia harus tetap konsisten menghukum para penjahat narkotika sekeras-kerasnya sampai hukuman mati. Tentu hal ini konstitusional dan sesuai dengan urgensi atau kepentingan dalam melindungi bangsanya.
"Satu hal yang harus jadi perhatian adalah Indonesia tidak pernah menargetkan seseorang atau sebuah negara dalam konteks penghukuman mati ini, tetapi murni diterapkan pada kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya," tegas Bali.
Pemberlakuan hukuman mati, lanjut dia, adalah bentuk dari proteksi agar Indonesia tidak diserang narkotika secara bertubi-tubi, hingga menembus batas negara.
"Kami sadar betul narkotika jadi ancaman serius untuk bangsa Indonesia, sehingga kami akan lakukan yang terbaik untuk melindungi bangsa Indonesia," pungkas Bali.
PK untuk Mengulur Waktu
Terkait eksekusi mati tahap II yang akan dilakukan, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, belum dapat memastikan jumlah terpidana mati yang akan dieksekusi. Meski 9 dari 10 terpidana mati sudah dipindahkan ke Lapas Nusakambangan, namun jumlah itu diyakini masih dapat berubah.
"Bisa kurang bisa lebih ya," ujar Prasetyo saat dihubungi di Jakarta, Sabtu 14 Maret 2015. Dalam kesempatan ini, politisi Partai Nasdem itu kembali memastikan, pihaknya tidak akan menunda eksekusi terhadap para terpidana mati tersebut.
Namun saat ditanyakan mengapa hingga saat ini eksekusi mati belum juga dilakukan, Prasetyo menjelaskan, hal itu karena masih ada pihak terpidana yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
"Kita persiapkan semuanya, supaya tidak ada masalah apapun yang tersisa. Kita akan lakukan serentak. Sejauh sudah siap semua, kita akan lakukan serentak," pungkas Prasetyo. Seperti diketahui, 3 dari 10 terpidana mati yang akan dieksekusi telah mengajukan Peninjauan Kembali atas vonis mereka ke Mahkamah Agung.
Ketiga terpidana itu yaitu Zainal Abidin, Mary Jane Fiesta Veloso, dan Serge Aretzi Atlaoui. Namun permohonan PK yang diajukan terpidana mati asal Indonesia Zainal Abidin ditolak Mahkamah Agung. Zainal merupakan terpidana mati kasus narkoba yang ditangkap di rumahnya di Palembang pada 21 Desember 2000, karena memiliki 58,7 kilogram ganja.
Sedangkan PK Mary Jane Fiesta Veloso belum diputuskan pengadilan. Mary Jane telah menjalani sidang PK di Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta. Mary Jane merupakan warga negara Filipina yang ditangkap di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, pada 25 April 2010 lantaran menyelundupkan 2,6 kilogram heroin.
Sedangkan sidang PK Serge Aretzi Atlaoui masih berlangsung di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Serge divonis hukuman mati setelah ditangkap pada 11 November 2005. Dia terlibat dalam operasi pabrik ekstasi dan sabu-sabu di Cikande, Tangerang. Dari pabrik itu petugas menyita 138,6 kilogram sabu, 290 kilogram ketamine dan 316 drum prekusor.
Meski mengatakan menunggu proses hukum tersebut, tapi Kejaksaan Agung berkeyakinan PK yang diajukan sesudah grasi ditolak tak akan membuahkan hasil manis. "Ya kita tunggu. Karena kita sudah punya keyakinan bahwa PK-nya akan ditolak, ya karena grasinya sudah ditolak," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Tony T Spontana.
Kejaksaan Agung mengakui, PK yang diajukan para terpidana mati seolah-olah untuk mengulur waktu kematian mereka. Namun, lanjut Spontana, proses itu tetap dihormati Kejagung.
"Sulit bagi saya untuk tidak mengatakan bahwa mereka terkesan mencari-cari alasan untuk tidak melakukan eksekusi," ujar dia. Tapi Tony menegaskan, jika seluruh proses hukum yang diajukan terpidana mati selesai, Kejagung akan segera mengeksekusi mereka.
Pengumuman eksekusi, ujar dia, tak akan lama lagi setelah semua proses hukum terpidana mati selesai. "Kita tunggu, apa di bulan Maret atau April," ucap Tony.
1000 Terpidana Mati
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menerapkan hukuman mati untuk terpidana tindak pidana berat. Di Asia Tenggara, terhitung ada 8 negara yang menerapkan hukuman mati. Seperti dimuat laman Death Penalty Worldwide, Minggu 22 Februari 2015, 8 negara itu yakni Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Thailand.
Di belahan dunia lain, masih banyak negara yang juga menerapkan hukuman mati. Di antaranya China, Pakistan, dan Amerika Serikat. Pakistan bahkan baru-baru ini mencabut moratorium eksekusi mati, yang artinya pelaksanaan hukuman terberat itu kembali diberlakukan lantaran maraknya aksi terorisme.
Sejak Desember 2014, Pakistan telah menghukum gantung 24 terpidana, sebagai langkah keras usai terjadinya serangan yang dilakukan militan Taliban di sekolah militer pada akhir tahun lalu. Serangan itu mengakibatkan 150 orang tewas, termasuk pelajar.
Tak hanya jumlah itu, otoritas Pakistan menyatakan akan mengeksekusi lebih dari 1.000 terpidana mati yang permohonan grasinya ditolak. Namun menurut badan Hak Asasi Manusia (HAM) Amnesty International, ada 8.000 terpidana mati yang diperkirakan terancam bakal dieksekusi mati di negara tersebut.
Dengan jumlah ini, maka Pakistan akan menjadi negara dengan terpidana mati paling banyak yang bakal menghadapi eksekusi. Mereka yang akan menghadapi hukuman gantung karena kasus pemerkosaan, pembunuhan, pemberontakan, dan penghinaan berat.
Negara lain yang juga memiliki daftar terpidana mati paling banyak yakni Arab Saudi. Negara kaya minyak itu bahkan baru-baru ini telah mengeksekusi mati 44 orang. Menurut catatan Badan HAM, negara kerajaan itu telah mengeksekusi 2.000 orang sejak 1985 dan 2013.
Sedangkan Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi telah mengeksekusi mati 6 terpidana pada 18 Januari 2015 lalu atau tahap I, dan akan mengeksekusi mati tahap II sekitar 10 terpidana dalam waktu dekat.
Presiden Jokowi menegaskan, tidak ada pihak mana pun yang dapat mengintervensi keputusan hukuman mati tersebut. "Memang harus saya sampaikan, banyak sekali tekanan-tekanan dari dunia internasional. Tapi ini saya tekankan, ini kedaulatan hukum kita. Sudah berkali-kali saya katakan, ini kedaulatan hukum kita. Jangan saya ulang lagi," tegas Jokowi, Kamis 12 Maret 2015. (Sun/Rmn)