Liputan6.com, Jakarta - Rupiah tak terpuruk sendirian. Beberapa mata uang lain nilainya juga ikut ambruk. Bahkan, ada yang lebih dalam jika dibanding dengan rupiah. Gara-garanya satu: nilai dolar Amerika Serikat yang makin perkasa.
Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro menjelaskan, pelemahan rupiah sebenarnya cukup wajar. Penurunan nilai tukar rupiah tersebut juga dialami oleh penurunan mata uang lainnya. "Mata uang lain juga melemah terhadap dolar Amerika. Justru sebenarnya rupiah ini menguat terhadap beberapa mata uang lain," jelasnya.
Bambang pun membeberkan, setelah Bank Sentral China menurunkan suku bunga acuan, yuan tercatat anjlok ke level terendahnya sejak Oktober 2012. Selain yuan, dolar Singapura juga melemah di tengah ekspektasi pasar akan adanya pelonggaran kebijakan moneter pada April guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, ringgit Malaysia juga melemah setelah harga minyak turun dan dikhawatirkan dapat mengganggu surplus neraca transaksi berjalan dan memperlebar defisit fiskal Malaysia. Sedangkan won Korea juga merosot setelah data output industri Januari menunjukkan kinerja terburuknya dalam enam tahun terakhir.
Jika dibandingkan, sejak awal tahun hingga 16 Maret 2015, pelemahan rupiah mencapai 6,66 persen dari Rp 12.390 per dolar AS menjadi Rp 13.247 per dolar AS.
Ringgit Malaysia mengalami 5,89 persen dari 3,49 ringgit per dolar AS menjadi 3,70 ringgit per dolar AS. Untuk dolar Singapura mengalami pelemahan sebesar 5,1 persen dari 1,32 dolar Singapura per dolar AS menjadi 1,38 dolar Singapura per dolar AS.
Untuk yen Jepang mengalami pelemahan sebesar 1,47 persen, sedangkan yuan China mengalami pelemahan sebesar 0,90 persen.
Advertisement
Selanjutnya: Tak Selalu Buruk...
Tak Selalu Buruk
Tak Selalu Buruk
Para ekonom internasional mengungkapkan, pelemahan nilai tukar sebesarnya tak selalu merugikan. Chief Executive Officer (CEO) Richard Bernstein Advisors, Richard Bernstein mengatakan, banyak ekonom yang menganggap remeh dampak positif dari penguatan dolar AS di beberapa negara berkembang atau penguatan dolar terhadap mata uang negara lain. Padahal, banyak manfaat yang bisa didapat dari hal tersebut.
Bernstein mengaku penguatan dolar AS tersebut membuat dirinya melakukan investasi lebih besar di Jepang. Ia melihat saat ini Jepang sedang memaksimalkan ekspor karena diuntungkan dengan pelemahan yen.
Dengan ekspor yang meningkat maka banyak perusahaan Jepang yang bisa memperoleh laba yang tinggi sehingga bisa memberikan imbal hasil yang lebih besar terhadap investasinya di sana.
Pelemahan yen lebih lanjut juga akan membantu indeks saham Jepang naik. Pasar keuangan juga ikut terdorong dengan melemahnya yen yang menguntungkan para eksportir Jepang. Saham perusahaan robotic Fanuc juga membantu saham Nikkei naik dengan penguatan saham perusahaan sebesar 14 persen. Perusahaan juga mengumumkan dividen yang lebih tinggi. Saham perusahaan yang beruntung lain adalah Fast Retailing sebesar 1,7 persen.
Ditulis dalam Shanghai Daily, Ekonom JP Morgan Chase & Co Yoshito Sakakibara mengatakan, pelemahan yen memberikan dampak positif pada ekonomi Jepang. "Para eksportir tak perlu melihat yen melemah lebih jauh dari pada level ini karena bahkan di level sekarang, kami melihat pemulihan di sektor ekspor," terang Yoshito.
Saham-saham perusahaan otomif dan elektronik seperti Nissan Motor, Toyota dan Panasonic serta Sony juga ikut mengalami penguatan.
Mengutip data dari CNBC, pelemahan mata uang juga tidak menganggu hubungan dagang antara China dan Jepang. Perdagangan bilateral kedua negara meningkat hingga 7,5 persen tahun lalu. Bahkan dalam beberapa bulan ke depan, hubungan dagang keduanya dapat semakin baik. Pada Januari 2015, penjualan Jepang ke China meningkat hingga 20,8 persen dalam 12 bulan terakhir.
China juga membutuhkan pelemahan yuan untuk membantu mengurangi tekanan dan menambah daya saingnya di pasar global. Perannya di pasar global dapat meningkat jika mata uang di negara-negara lain juga ikut melemah.
Data terakhir menunjukkan adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi China dan berkurangnya permintaan domestik. Satu-satunya solusi adalah untuk meningkatkan jumlah ekspor. Yuan yang melemah akan membantu peningkatan ekspor di China.
Dalam South China Morning Post, hingga Februari 2015, hasil produksi industri menguat 6,8 persen lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.
Advertisement