Rupiah Loyo, Pengusaha Makanan dan Minuman Mulai Evaluasi Harga

Pengusaha makanan dan minuman memprediksi rupiah di kisaran 12.500-13.000 untuk menyusun biaya produksi pada 2015.

oleh Septian Deny diperbarui 18 Mar 2015, 21:19 WIB
Kemendag mengenalkan cita rasa makanan dan minuman Indonesia melalui promosi di pasar swalayan Odakyu, 5-11 November ini.

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha makanan dan minuman berharap paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah secepatnya mampu menstabilkan rupiah.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman mengatakan sebenarnya saat menyusun biaya produksi untuk tahun ini, pengusaha makanan dan minuman telah memasang perkiraan nilai rupiah antara Rp 12.500-Rp 13.000 per dolar Amerika Serikat (AS).

"Kami sudah prediksi di Rp 12.500-Rp 13 ribu. Jadi kami bikin budget pengeluaran produksi di kisaran tersebut. Dan biasanya stok produksi untuk 3 bulan, jadi di pabrik 1 bulan, di pasar 2 bulan," ujar Adhi di Jakarta, Rabu (18/3/2015).

Namun yang memberatkan pengusaha makanan dan minuman karena rupiah saat ini justru terus melemah, bahkan hingga di atas Rp 13 ribu per kg. Terlebih lagi, sebagian bahan baku yang dibutuhkan industri makanan dan minuman masih berasal dari impor.

"Industri makanan masih banyak yang bahan bakunya impor. Misalnya terigu 100 persen impor, gula 100 persen impor, kedelai 70 persen impor, dan susu 70 persen," jelas Adhi.

Hal ini membuat pengusaha mulai berpikir untuk menaikan harga jual produknya untuk menghindari kerugian. "Tentukan untuk harga, situasi sekarang menjadi boomerang dan kalau dipertahankan, margin kami tergerus," lanjut dia.

Oleh sebab itu, dia berharap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang tertuang dalam paket kebijakan mampu mengatasi pelemahan rupiah.

"Pengusaha tempe tahu begitu tembus Rp 13 ribu mereka teriak, daya tahan mereka rendah, mereka terpaksa perkecil ukuran. Jadi Maret ini kami diharapkan punya solusi," tandasnya. (Dny/Ahm)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya