Liputan6.com, Tunis - Siang hari di Tunis, Tunisia, Rabu 18 Maret 2015, sekitar 200 turis berada Bardo National Museum yang menyimpan mozaik-mozaik era Romawi, salah satunya yang berasal dari Abad ke-3 Masehi. Juga sejumlah artefak Yunani -- yang sebagian didapatkan dari ekskavasi bawah laut, serta koleksi naskah-naskah Islam.
Tanpa diduga, sekelompok pria bersenjata, sebagian memakai seragam militer Tunisia -- menyerbu. Mereka menyerang sejumlah bus dan masuk ke dalam gedung museum, menjadikan para wisatawan sebagai sandera. 22 Orang tewas: 18 turis, seorang perempuan petugas museum, 1 petugas keamanan, dan 2 pihak penyerang.
Sejumlah turis asing dipastikan tewas, termasuk 4 warga Italia, 2 Spanyol, 2 WN Prancis, 2 Kolombia, dan 3 warga negara Jepang.
Wassel Bouzid, seorang pemandu wisata, mengaku sedang berada dengan sekelompok turis di luar museum, ketika suara tembakan pertama terdengar. "Itu bukan (situasi) Tunisia yang saya kenal," kata dia seperti dikutip dari Wall Street Journal, Kamis (19/3/2015).
Serangan terhadap museum dilakukan setelah para penyerang gagal menyerbu gedung parlemen, yang berada tak jauh dari sana, di mana para politisi sedang mendebatkan RUU Antiterorisme.
Aksi terorisme itu menutupi salah satu kisah sukses gelombang demokratisasi di dunia Arab atau Arab Spring yang bermula salah satunya dari Tunisia.
Sejumlah orang khawatir, serangan tersebut akan membuka jalan bagi upaya menggagalkan demokrasi dalam masa transisi yang tersendat.
"Ini adalah serangan ganda, terhadap demokrasi dan ekonomi kami," kata Abdelfatah Mourou, juru bicara parlemen. "Orang-orang ini tahu benar apa yang sedang mereka lakukan."
Sekitar 12% dari produk domestik bruto (PDB) Tunisia bergantung pada pariwisata. Pendapatan dari turis meningkat 24 persen pada 2015 dibandingkan dengan tahun 2010 -- sebelum revolusi pecah pada 2011.
Advertisement
Meski belum ada pihak yang mengklaim serangan tersebut, Kementerian Dalam Negeri Tunisia menyebut, ada 3.000 militan dari negaranya yang bergabung dalam kelompok radikal di Irak dan Suriah.
Sementara, media setempat mengidentifikasi 2 penembak yang tewas sebagai warga Tunisia, Saber Elkashnawi dan Yassine Labidi.
Kisah Tukang Sayur 'Lengserkan Presiden'
Tunisia berhasil melakukan transisi demokrasi pascapemberontakan yang menumbangkan rezim otokratis Zine El Abidine Ben Ali pada Januari 2011.
Proses transisi diwarnai kekerasan. Pada 2013, 2 pemimpin politik sekuler Chokri Belaid dan Mohamed Brahmi dibunuh dalam insiden terpisah. Pada Desember tahun yang sama, di tengah penyelenggaraan pemilu, ISIS mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut dan bersumpah akan terus menargetkan Tunisia.
Beji Caid Essebsi akhirnya terpilih menjadi presiden pertama yang dipilih secara langsung.
Sejarah mencatat, demokratisasi di Tunisia diawali sebuah insiden di mana 'wong cilik' jadi lakonnya.
Pada 17 Desember 2010, seorang tukang sayur berusia 26 tahun, Mohamed Bouazizi nekat membakar diri karena barang dagangannya disita polisi. Ia mengadu pada aparat hingga gubernur, namun tak ada yang menggubris.
Sempat menjalani perawatan di rumah sakit, Bouazizi meninggal dunia pada 2 Januari 2011.
Bouazizi adalah wajah rakyat Tunisia yang menderita di negeri yang dilanda krisis pangan, lapangan kerja sulit, dan rakyat hidup dalam politik yang tak peduli pada kritik. Sementara, kaum elit hidup mewah.
Kisahnya membangkitkan kemarahan rakyat atas penguasa. Demonstrasi meledak, rakyat turun ke jalan menuntut Ben Ali turun.
Pada 14 Januari 2011, Ben Ali yang tak lagi dipercaya rakyat itu pun diam-diam kabur ke Arab Saudi bersama keluarganya.
Aksi Bouazizi bahkan menjadi ilham bagi negara tetangga. Selama 15-18 Januari 2011, sudah 10 orang membakar diri sebagai bentuk protes kepada pemerintah. Di Mesir, Aljazair dan Mauritania, 2 dilaporkan tewas, sisanya kritis.
Masalah sosial dan ekonomi menjadi penyebab utama pecahnya revolusi, yang kemudian menyebar ke seluruh Afrika Utara dan sebagian Timur Tengah: Arab Spring. (Ein/Tnt)