Liputan6.com, Jakarta - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly resmi mengeluarkan Surat Keputusan (SK) terkait pengesahan kepengurusan Golkar di bawah kepemimpinan Agung Laksono. SK dengan nomor M. HH-01.AH.11.01 tanggal 23 Maret 2015 itu berisi Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, serta Komposisi dan Personalia DPP Golkar.
Menanggapi hal tersebut, anggota Golkar kubu Aburizal Bakrie, Aziz Syamsuddin mengatakan hal tersebut tidak bisa menjadi dasar untuk merombak kepengurusan karena belum ada putusan yang inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Terlebih SK tersebut, menurut dia, merupakan produk administratif dan bukan produk hukum.
"Ini surprise ya. Tanpa ada pertimbangan dari Dirjen (Dirjen Administrasi Hukum Umum), Menkumham mengeluarkan surat tersebut. Surat Menkumham sifatnya administrasi bukan produk hukum. Surat Menkumham masih ada celah dilakukan gugatan ke PTUN, PN, Bareskrim. Meminta patuh terhadap hukum. Sampai kekuatan hukum tetap, kecuali sampai ada keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap," ujar Aziz di gedung parlemen Senayan Jakarta, Senin (23/3/2015).
"Sampai dengan belum adanya putusan hukum yang berkekuatan hukum yang tetap, maka itu tidak bisa dirombak. Putusan itu harus bersifat tetap dari pengadilan," lanjut dia.
Senada dengan Aziz, loyalis Ical lainnya, Bambang Soesatyo juga merasa heran dengan lahirnya SK tersebut. Menurut dia, sebelum dikeluarkan, SK tersebut seharusnya diproses terlebih dahulu melalui Dirjen Administrasi Hukum Umum.
"Klaimnya kan hari Kamis kemarin, pihak Agung Laksono sudah mendapatkan SK Menkumham dan sekarang Senin dikatakan sudah ada. Karena itu, merasa heran. Kan perlu pertimbangan dari para Dirjen dan akta notaris. Jika notaris ikut menandatangi sesuatu yang masih berproses hukum, kemungkinan juga melanggar bisa kita gugat juga," jelasnya.
Sementara itu, Ade Komaruddin juga meminta agar pihak Agung Laksono bisa menunggu sampai ada ketetapan hukum tetap. Menurut dia, dilanjutkannya kepengurusan versi SK Menkumham tanpa menunggu proses hukum merupakan preseden buruk.
"Jelas pimpinan DPR tidak mau membacakan, bukan karena tidak mau, tetapi tidak sesuai dengan prosedur. Janganlah memaksa pimpinan semata-mata untuk kekuasaan. Ini ada kan masih ada gugatan di PN Jakarta Utara dan rencana gugatan di PTUN, jadi Belanda masih jauh. Sabar. Itu kan tidak baik, mempertontonkan hal yang tak bagus bagi publik," jelasnya.
Terkait hal itu, Wakil Ketua DPR yang juga politisi Gerindra Fadli Zon menegaskan pihaknya belum bisa langsung menerima perubahan pengurusan fraksi suatu partai hanya berdasarkan SK Menkumham yang masih ada proses hukumnya.
"Kalau proses internalnya belum selesai dan apalagi masih ada proses hukumnya, itu belum cukup, kecuali tidak ada gugatan dan belum selesai. Tapi kalau masih ada masalah dan terdaftar di pengadilan dan PTUN kami anggap belum selesai," tandas Fadli Zon. (Riz)
Energi & Tambang