Sektor Manufaktur Jadi Harapan Dongkrak Ekonomi RI

ADB Indonesia menilai, Indonesia menghadapi tantangan besar untuk kembali menghidupkan sektor manufaktur.

oleh Septian Deny diperbarui 24 Mar 2015, 13:55 WIB
Pelindo II menargetkan pembangunan pelabuhan New Tanjung Priok tahap I dapat beroprasi pada kuartal III 2015 dengan kapasitas daya tampung sebesar 1,5 juta, Minggu (7/9/2014)(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) diharapkan mampu menumbuhkan sektor manufaktur yang beorientasi pada ekspor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan.

Deputy Country Director ADB Indonesia, Edimon Ginting mengatakan, sektor manufaktur juga dinilai ampuh untuk memperbaiki pendapatan negara akibat harga minyak dunia menurun.

"Untuk penurunan harga minyak, bagi sebagian besar negara di Asia dampaknya positif karena sebagian besar merupakan importir. Tapi bagi kita juga berpengaruh pada penerimaan dan juga dari sisi royalti," ujar Edimon di dalam konferensi pers Asian Development Bank Outlook 2015 di Hotel Intercontinental Midplaza, Jakarta, Selasa (24/3/2015).

Edimon menuturkan, pemerintah memang harus mencari solusi untuk menggenjot penerimaan negara mengingat sektor komoditas yang masih lesu. Karena itu, sektor manufaktur dapat jadi pilihan.

Edimon menjelaskan, menghidupkan kembali sektor manufaktur merupakan salah satu tantangan kebijakan terbesar bagi Indonesia setelah commodity boom memudar. Indonesia membutuhkan sumber pertumbuhan ekspor baru untuk mengembalikan pertumbuhan PDB di atas 6 persen.

"Sektor manufatur terabaikan saat commodity boom juga karena upah buruh yang naik dan lain-lain. Makanya saat ini manufaktur bisa didorong untuk menjadi primadona lagi. Kita lihat, China itu semakin banyak jadi konsumen. Tenaga kerja Jepang makin banyak yang retire. Itu akan membuat ekonomi Indonesia strukturnya jadi lebih bagus," jelas Edimon.

Meski demikian, banyak hal yang harus dibenahi oleh pemerintah karena sektor manufaktur masih terkendala oleh berbagai faktor seperti infrastruktur yang tidak memadai, ketidakpastian aturan dan biaya logistik yang tinggi.

"Para pelaku ekonomi menunggu apakah pemerintah dapat mempertahankan momentum reformasi tersebut dan mengembangkan sektor manufaktur yang berorientasi pada ekspor," kata Edimon. (Dny/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya