Kerugian Negara Akibat Korupsi UPS APBD DKI Mencapai Rp 50 Miliar

Sejauh ini, polisi telah memeriksa 73 saksi kasus dugaan korupsi pengadaan UPS APBD DKI Jakarta tahun 2014.

oleh Moch Harun Syah diperbarui 26 Mar 2015, 02:38 WIB
Petugas menunjukkan merek asal China pembuat UPS di SMAN 78, Jakarta, Senin (2/3/2015). Diduga hampir semua sekolah di Jakarta menerima UPS senilai Rp 6 Miliar(Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri terus menelusuri alat bukti dokumen atas kasus dugaan korupsi pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) APBD DKI Jakarta tahun 2014. Sejauh ini, polisi telah memeriksa 73 saksi.

Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Polri Kombes Pol Rikwanto mengatakan, dari hasil pemeriksaan dan penelusuran, pihaknya menemukan indikasi kerugian akibat mark up atau pengelembungan dana pengadaan UPS mencapai Rp 50 miliar.

"Potensi kerugian negara 50 miliar. Dan jumlah ini bisa bertambah karena saat ini kita masih melakukan pemeriksaan," ujar Rikwanto di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (25/3/2015).

Dia menjelaskan, skema kasus ini bermula pada pengadaan UPS yang dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Perubahan Provinsi DKI Jakarta pada September 2014.

Menurut hasil pemeriksaan, ungkap Rikwanto, ada oknum DPRD DKI Jakarta dari komisi tertentu, pihak eksekutif di Pendidikan Menengah Jakarta Barat dan Pusat, serta terdapat juga pengusaha uyang membangun skema memasukkan UPS pada APBD Perubahan itu.

"Ini digagas oleh beberapa pihak dari legislatif, eksekutif, distributor atau pengusaha. Mereka berkolaborasi masukkan UPS dalam APBD Perubahan," ungkap Rikwanto.

Kemudian kata mantan Kabid Humas Polda itu, program pengadaan UPS senilai Rp 300 miliar itu dimasukkan dalam 49 paket yang akan disalurkan ke sekolah-sekolah di wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Barat.

Awalnya, proses itu berjalan lancar sampai selesai tahun anggaran 2014. UPS pun masuk ke sekolah-sekolah dan kini telah dioperasikan. Awalnya memang seperti tidak ada masalah dalam proyek ini. "Tapi, belakangan diketahui ada mark up yang cukup besar dan dalam proses pengadaannya menyalahi ketentuan," ucap Rikwanto.

Selain itu, polisi juga menelusuri dugaan pihak distributor atau perusahaan yang mengatur penyediaan alat tersebut di setiap sekolah. "Distributor ini yang mengatur tentang HPS (harga perkiraan sementara) proses lelang dan lain-lain. Semua berjalan lancar dan terakhir (UPS) masuk ke sekolah-sekolah pada Januari 2015," tandas Rikwanto. (Riz)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya