Liputan6.com, Jakarta "Nyaris kacengklak beberapa kali, tisoledat 3 kali, porosotan 2 kali, dan banyak lagi momen luar biasa selama di hutan. 21K ditempuh selama 5 jam 40 menit. Alhamdulillah. Finish strong!" Itulah tulisan yang terpampang di instagram milik Aswi dengan foto dirinya yang tampak begitu bangga memegang medali finisher.
Aswi merupakan salah satu peserta dari ratusan pelari yang mengikuti event lari 'Hilly We Run' yang diselenggarakan oleh komunitas lari BDG Explorer atau Bandrex. Momen lari ini bukan saat biasa karena jalur yang disiapkan panitia terbilang amat berat. Wajar jika akhirnya Aswi tersenyum bangga karena berhasil menyelesaikan lari dengan waktu berjam-jam di tengah guyuran hujan lebat.
Advertisement
'Hilly We Run' secara harfiah bisa diartikan kurang lebih 'di bukit kita berlari'. Namun kata ini sebenarnya merupakan permainan kata dari bahasa Sunda “hiliwiran” yang berarti angin bertiup sepoi-sepoi. Sepoi adalah angin bergerak perlahan atau tidak kencang. Karena itu event lari ini tidak disebut sebagai lomba, tetapi lebih tepat 'fun run' atau lari santai.
Jika pada umumnya event lari dilakukan di jalan-jalan perkotaan, maka BDG Explorer mencoba hal yang berbeda dengan mengadakan event lari perdana di perbukitan dan pegunungan. Kategori lari seperti ini sering disebut dengan lari trail/trel atau lari halang rintang. Inilah cara unik komunitas Bandrex untuk hidup sehat. Berlari di alam bebas sambil menghirup udara bersih sepuasnya dan memanjakan mata dengan pemandangan alamnya.
'Hilly We Run' telah usai Sabtu (21/3/2015) dengan titik start di pintu masuk Kawasan Wisata Jayagiri. Peserta bukan hanya datang dari kota Bandung, tetapi juga dari Jakarta, Bekasi, Bogor, Cimahi, dan bahkan warga negara asing. Mereka sudah berdatangan sejak pukul enam, termasuk ada juga yang sudah menginap semalam sebelumnya di sekitar Jayagiri. 250-an peserta yang terbagi rata jumlahnya pada kategori 10K (Short) dan 21K (Long). Hanya IDR 150.000 untuk kategori Short dan IDR 200.000 untuk kategori Long peserta mesti membayar. Itu pun masih mendapat jersey, medali, dan refreshment.
Bandung memang sudah terkenal dengan kondisi topografinya yang berupa pegunungan. Topografi pegunungan inilah yang selalu mengundang minat wisatawan, terutama pecinta olahraga ekstrem untuk mencobanya, termasuk pecinta olahraga lari.
Karena itu, tak salah bila peserta 'Hilly We Run' diajak berlari di alam terbuka dan merasakan sensasi yang berbeda dalam mengeksplorasi alam Jayagiri. Mereka tidak hanya ditantang kemampuan berlarinya tetapi juga kekuatan mentalnya dengan melewati trek-trek yang penuh sensasi petualangan. Bukan hanya pemandangan indah dan udara sejuk, peserta juga diajak belajar sejarah karena treknya juga melewati beberapa situs sejarah seperti Benteng Gunung Putri dan Benteng Pasir Ipis. Situs sejarah ini merupakan peninggalan Belanda pada Perang Dunia I yang diperkirakan dibangun pada tahun 1819.
Olahraga lari memang bisa dilakukan di mana saja, termasuk di hutan. Dari ketinggian 1358 meter di atas permukaan laut (mdpl) di titik start Desa Jayagiri, Lembang, Kabupaten Bandung, peserta akan diajak untuk lari menanjak dan menurun dengan kondisi trek makadam, jalan tanah, jalan setapak, ditambah kondisi hujan sehingga membuat jalur yang dilewatinya licin dan berkubang.
Titik terendah yang tercatat sepanjang trek adalah 1347 mdpl sedangkan titik tertingginya adalah 2098 mdpl, yang terletak di puncak Gunung Tangkuban Parahu. Dari titik ini, peserta bisa menyaksikan Kawah Upas. Namun sayang, saat itu kawahnya tidak bisa dilihat karena tertutup kabut tebal. Untuk menghadapi event lari ini, jelas peserta harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya agar tidak mengalami cidera. Meski begitu ada saja peserta yang mengalami kram pada otot kakinya.
"Dari seminggu rata-rata mungkin (latihan lari) empat kali, (setiap lari) sekitar tujuh kilo," ujar Faisal membenarkan hal tersebut. Lintasannya yang menantang membuat para peserta harus mempersiapkan fisiknya secara khusus.
Aswi sendiri mengamini terutama untuk kategori 21K yang dipilihnya. "Ada tanjakan edan yang kemiringannya mungkin sampai 60 derajat. Jelas gak bisa lari, melainkan harus dipanjat," ujarnya menggelengkan kepala.
"Belum faktor cuaca yang tidak disangka-sangka. Hujan lebat turun saat saya masih di tengah hutan. Jalur setapak otomatis berubah menjadi sungai kecil. Berat sekali medannya."
Hesti, peserta wanita, mengatakan, "(Saya terus) latihan lari, excercise, functional training dibanyakin. Latihan buat nguatin hamstring sih, soalnya kan treknya bakalan turun naik." Meghan Briggs, peserta wanita asal Amerika, menambahkan, "Ini pertama kali saya ikut acara seperti ini. (Treknya) sedikit sulit. Saya sering jatuh hahaha ... tapi bagus sekali. Indah."
Meski jalurnya terbilang berat, tetapi mayoritas peserta 'Hilly We Run' kemarin terlihat bahagia saat bisa finish. Mereka tidak mempersalahkan beratnya perjuangan yang harus dihadapi. Itu sudah konsekuensi mengikuti event lari trel.
"Sebenarnya tujuannya cuma simple aja sih. Kita buat (ini) untuk mengenalkan kegiatan lari trel di Bandung (bahwa) jalurnya tuh masih banyak yang bisa dijelajahi," ujar Dwiananta Wahyu, sang ketua panitia.
Dan kalau memang antusias peserta jauh lebih besar lagi, kemungkinan 'Hilly We Run 2' akan digelar pada 2016. Pada akhirnya, semua peserta pulang dengan bangga saat medali finisher berhasil didapatkan. Bang Aswi sendiri mengatakan sebuah quotes yang menarik, "It's not how we start that counts. It's how we finish. Finish strong!"