Ditjen Pajak Sindir Pengusaha yang Tolak Pajak Materai di Struk

Penerapan pajak materai untuk transaksi nominal belanja di atas Rp 250 ribu sangat relevan dengan perkembangan nilai tukar rupiah.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 29 Mar 2015, 08:54 WIB
Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Rencana pengenaan bea materai pada transaksi belanja minimal Rp 250 ribu sampai Rp 1 juta ditolak pengusaha ritel. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengkritisi penolakan tersebut.

Pejabat Pengganti Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Wahju K Tumakaka menjelaskan, revisi Undang-undang (UU) di penyusunan prioritas utama Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 masih dalam pembahasan.

"Bea materai baru rencana saja sudah ribut. Itu yang keberatan bukan rakyat kecil, tapi orang-orang cerdas, pintar dan berpendidikan tinggi," sindir dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Minggu (29/3/2015).

Wahju berpendapat, rencana penerapan pajak materai untuk transaksi nominal belanja di atas Rp 250 ribu sangat relevan dengan perkembangan nilai tukar rupiah saat ini. Lanjutnya, bea materai sudah diberlakukan pada era 1980-an atau zaman Belanda. Saat itu, diperuntukkan transaksi belanja senilai Rp 100 ribu yang dianggap besar kala itu.

"Sekarang orang makan berdua di restoran saja sudah lebih dari Rp 100 ribu. Kalau dalam kondisi nilai tukar rupiah sekarang dan masih pakai nilai materai 1980-an ya tidak sesuai. Jadi harus disesuaikan," tegas dia.

Sejak zaman kolonial, katanya, bea materai dikenakan pada penanda atau dokumen sebagai sebuah bentuk legalitas. Hal itu berlaku pula pada struk belanja. Struk belanja dianggap dokumen penting.

Wahju menyebut, ada banyak cara untuk menerapkan bea materai pada transaksi belanja ritel sesuai perkembangan teknologi. Salah satunya melalui mesin tera materai digital. Namun banyak pengusaha ritel yang tidak melaksanakannya.

"Mereka (pengusaha ritel) menolak, tidak melaksanakan karena tidak mau repot. Itu persoalannya. Lagian yang bayar bea materai kan konsumen dan sampai sekarang faktanya tidak ada yang menerapkan bea materai di transaksi belanja," cetusnya.

Sebelumnya, Pengusaha ritel menentang kebijakan pemungutan bea meterai pada transaksi belanja di toko ritel. Pasalnya tidak ada satu pun negara yang mengenakan pajak bea meterai dalam struk belanja konsumen.

"Kebijakan ngawur, tentu kami menolak karena tidak ada negara manapun mengenakan biaya bea meterai pada transaksi belanja," ungkap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Pudjianto kepada Liputan6.com.

Menurut Pudjianto, transaksi belanja konsumen sudah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen. Pada jenis ritel tertentu, ada pajak servis 1 persen.

Bea materai, sambung Pudjianto, selama ini hanya digunakan untuk dokumen penting bersifat perjanjian yang mengikat hukum. Sementara struk belanja tidak perlu memakai kuitansi maupun bea meterai atau dipungut pajak bea meterai.

"Ditjen Pajak jangan terus berburu di kebun binatang, harusnya berburu di hutan yang masih banyak belum bayar pajak. Jangan cuma anggota Aprindo yang disisir pajak terus," keluh Pudjianto.  (Fik/Gdn)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya