Lee Kuan Yew, Antara Sukarno dan Soeharto

Kesan dari Bung Karno membuat Lee Kuan Yew kian memperhatikan para pemimpin Indonesia. Ia kemudian justru bersahabat dengan Soeharto.

oleh Rinaldo diperbarui 30 Mar 2015, 21:04 WIB
Ilustrasi Lee Kuan Yew

Liputan6.com, Jakarta - Jakarta, Agustus 1960. Cuaca tak menentu hari itu, hujan tiba-tiba mengguyur di tengah cuaca terik. Lee Kuan Yew yang baru tiba langsung menuju Hotel Des Indes di kawasan Molenvliet, sekarang Jalan Gajah Mada. Itu adalah hotel terbaik yang ada di Ibukota, dianggap setara dengan Hotel Raffles di Singapura.

Namun, kondisi hotel yang konon mewah itu bikin Lee kecewa berat. Langit-langit kamar yang ditempati rombongannya bocor. Baskom, ember ditaruh di sana dan di sini, untuk menampung cucuran air.

Pengalaman Lee ke Indonesia untuk kali pertama setelah terpilih sebagai Perdana Menteri Singapura diwarnai perasaan dongkol.

Kekecewaan Lee berlanjut saat pertemuan resmi dengan Presiden Sukarno. Keringat mengucur di dahi orang nomor satu di pemerintahan Singapura itu. Siang itu sangat panas, sementara di Istana Negara, kipas angin pun tak ada, apalagi penyejuk ruangan atau AC. Lee yang mengenakan pakaian resmi, lengkap dengan jas dan dasi gerah bukan main, tak habis pikir dengan kondisi itu. Kok bisa?

Pengalaman menginap di kamar hotel yang bocor dan bertamu ke Istana yang tanpa pendingin ruangan itu dituliskan dengan bersahaja oleh Lee dalam memoarnya From Third World To First: The Singapore Story yang terbit pada tahun 2000.

Namun, kesan tak mengenakkan itu justru membuat Lee terus memperhatikan negara tetangga, Indonesia beserta para pemimpinnya. Bung Karno, misalnya, dinilai lebih mementingkan kebesaran suatu negara, baik jumlah penduduk maupun wilayah, dalam konteks hubungannya dengan negara-negara sekawasan.

Bung Karno juga dinilainya angkuh dan Lee mengaku kurang nyaman dengan sikap Presiden pertama RI itu, yang menempatkan diri sebagai seorang kakak yang selalu menasihati adiknya. Namun, dia tak memungkiri kalau Bung Karno memiliki karisma yang kuat.

Foto dok. Liputan6.com


Bahkan, kekaguman itu tak berkurang ketika Indonesia terlibat konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura usai negara itu memperoleh kemerdekaan pada 9 Agustus 1965 dari Federasi Malaysia. Ketika peristiwa G30S terjadi, Lee tetap menganggap kejadian itu tak akan berdampak buruk bagi Bung Karno.

Bahkan, ketika Surat Perintah 11 Maret 1966 dikeluarkan, dia masih belum yakin bahwa Sang Proklamator itu telah tersingkir karena karisma Bung Karno yang demikian besar. Baru setelah sidang MPR 1967, ketika Soeharto diangkat sebagai pejabat presiden, Lee percaya bahwa Bung Karno memang telah selesai.

Sejak itu, dia mulai memperhatikan sikap politik sang pengganti: Soeharto. Dari sudut pandang Lee, Pak Harto dinilai telah memerankan diri sebagai sangat hati-hati, lamban, namun secara bertahap mengurangi kekuasaan Bung Karno -- sampai akhirnya semua orang menyadari bahwa kekuasaan sesungguhnya telah beralih kepada penguasa Orde Baru itu.

Seiring berjalannya waktu, kedua pemimpin itu menjadi sahabat. Hubungan yang akur diawali keputusan Soeharto pada Juni 1966 selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera untuk menghentikan konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura. Sejumlah kerja sama di antara kedua negara kemudian mulai terjalin.

Foto dok. Liputan6.com

Namun, kerikil tajam kembali muncul pada Oktober 1968 saat Singapura mengeksekusi mati, dengan cara menggantung 2 prajurit Korps Komando Operasi (KKO) -- sebutan untuk pasukan Marinir pada zaman Presiden Sukarno. Usman dan Harun, begitu mereka dikenal, adalah pelaku pengeboman di Mac Donald House yang digunakan sebagai kantor Hong Kong and Shanghai Bank pada 10 Maret 1965.

Soeharto secara terbuka meminta Lee Kuan Yew untuk memberikan keringanan hukuman kepada dua anggota KKO tersebut. Namun ditolak. Keduanya lalu dieksekusi gantung pada 17 Oktober 1968.

Penolakan Singapura tersebut memicu kemarahan di Indonesia. Kepulangan jenazah kedua personel KKO itu ke Tanah Air disambut secara besar-besaran. Ketegangan hubungan antara Indonesia dan Singapura mencapai klimaks. Kedutaan Besar Singapura di Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta, diserbu dan dirusak massa yang membawa bambu runcing.

Konflik kemudian memang mereda, namun komunikasi antara Pak Harto dan Lee tetap tersumbat. Hanya terjalin lewat sarana telekomunikasi atau dengan berkirim pesan kepada para pejabat yang saling berkunjung.

Pertemuan pertama Lee dan Pak Harto tidak terjadi di Jakarta atau Singapura, melainkan di Lusaka, ibukota Zambia. Ketika itu keduanya hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara non-Blok, September 1970. Saat itu, Lee menyempatkan diri mengunjungi Pak Harto.

Selama 30 menit, keduanya membahas sejumlah topik tentang kondisi kawasan Asia Tenggara, khususnya Kamboja dan Vietnam yang baru saja ditinggalkan pasukan Amerika Serikat. Kesan Lee, Pak Harto adalah seorang pendengar yang baik dan pertemuan itu dinilainya sangat bermanfaat.

Namun, tetap saja sulit membangun komunikasi yang lebih intensif di antara keduanya karena belum ada kontak langsung dan resmi oleh pimpinan negara bertetangga ini. Karena itu, ketika muncul keinginan dari Lee untuk berkunjung ke Jakarta, pintu bagi terciptanya sebuah hubungan yang lebih baik sudah terbuka.

Tapi, Lee Khoon Choy selaku Duta Besar Singapura di Jakarta melaporkan, ada hambatan serius untuk niat baik tersebut, yaitu peristiwa digantungnya anggota marinir Indonesia di Singapura.

Sejumlah solusi pun dirundingkan, sehingga muncul gagasan dari Pak Harto, Lee diminta meletakkan karangan bunga di Taman Makam Pahlawan Kalibata, ia juga menabur bunga pada makam 2 marinir Indonesia di sana. Tak diduga, Lee ternyata setuju.

Tiba di Jakarta pada 25 Mei 1973, Lee memperoleh penghormatan khusus layaknya pemimpin pemerintahan sebuah negara, dengan 19 tembakan meriam. Lee pun menepati janji dengan menaburkan bunga di makam Usman dan Harun. Ini berarti halaman baru hubungan kedua negara telah dibuka kembali.

Foto dok. Liputan6.com


Sejak saat itu pula lahir tradisi baru dalam hubungan kedua pemimpin ini, yaitu pembicaraan 4 mata yang tanpa dihadiri oleh pembantu atau menteri kedua belah pihak.

Setahun kemudian, pada Agustus 1974, giliran Pak Harto berkunjung ke Singapura. Di bandara, Pak Harto disambut 21 dentuman meriam dan barisan kehormatan Angkatan Bersenjata Singapura. Selain melakukan pertukaran dokumen mengenai batas-batas teritorial laut antara kedua negara, 2 pemimpin juga meneruskan tradisi pertemuan 4 mata.

Setelah itu, berbagai pertemuan terus berlangsung. Hubungan Pak Harto dan Lee juga makin hangat karena keduanya saling mendukung. Seperti dalam kasus Timor Timur yang kemudian sampai dibawa ke PBB, Singapura pun memilih abstain saat pemungutan suara. Setahun sekali, Lee bertemu Pak Harto dan selalu diadakan pertemuan 4 mata.

Lee menggambarkan Pak Harto sebagai orang yang tenang, sopan, dan teliti. Pak Harto juga dinilai sebagai orang yang sangat memegang kata-katanya. Pak Harto di mata Lee sangat konsisten.

Sebuah kejutan dibuat Lee untuk Pak Harto tepat 20 tahun setelah pertemuan pertama mereka di Lusaka, Zambia. Ketika bertemu dengan Pak Harto dan Ibu Tien di Tokyo, Jepang, saat menghadiri penobatan Kaisar Akihito pada November 1990, Lee menyatakan rencananya untuk mengundurkan diri sebagai PM Singapura.

Menurut Lee, Ibu Tien sempat tidak percaya dengan apa yang dia sampaikan lantaran dirinya masih sehat untuk terus memimpin Singapura. Namun, Lee punya alasan sendiri.

"Singapura belum pernah mengalami pergantian Perdana Menteri. Akan lebih baik bagi saya, kalau berhenti di saat yang baik, di saat saya dapat memilih pengganti," jelas Lee.

Dan benar, beberapa hari kemudian Lee mengundurkan diri sebagai PM Singapura dan diangkat menjadi Menteri Senior. Namun, hubungan Lee dengan Pak Harto tak turut berakhir.

Selanjutnya: Melepas Pak Harto, Menolak Habibie...


Melepas Pak Harto, Menolak Habibie

Melepas Pak Harto, Menolak Habibie

Meski menyandang jabatan Menteri Senior, sejatinya pengaruh Lee tak pernah berkurang. Tak hanya dalam lingkup kecil Singapura, melainkan untuk wilayah yang lebih besar, seperti di kalangan negara-negara di kawasan Asia tenggara.

Ketika Indonesia dan sejumlah negara lain di kawasan menghadapi krisis melemahnya nilai mata uang pada 1997, Lee pun turun tangan. Dia mengatakan, tidak ada orang yang mengharapkan Indonesia akan menghadapi krisis mata uang karena Pemerintah Singapura sangat percaya ekonomi Indonesia lebih baik ketimbang Thailand.

Lee juga memuji kebijaksanaan Indonesia yang kemudian mengundang IMF untuk membantu. Namun, berbagai upaya yang dilakukan tak kunjung membuat ekonomi Indonesia membaik. Nilai tukar rupiah terjun bebas hingga ke nilai yang mengkhawatirkan.

Pada Desember 1997, kesehatan Pak Harto agak terganggu. Melihat gejala itu, Lee khawatir rupiah akan semakin merosot. la menyampaikan pesan kepada Dubes Singapura di Jakarta seandainya putri Pak Harto, Mbak Tutut, dapat datang ke Singapura karena dia ingin menyampaikan beberapa pandangan untuk dapat disampaikan kepada Pak Harto.

Bertepatan dengan perayaan Natal tahun itu, Mbak Tutut datang ke Singapura. Lee dengan PM Singapura Goh Chok Tong menyampaikan kepada Mbak Tutut bahwa keadaan akan terus memburuk di Indonesia seandainya kepercayaan tidak segera dipulihkan.

Foto dok. Liputan6.com


Keduanya juga menyinggung bisnis keluarga Pak Harto, yang ternyata mendapat perhatian yang besar dari para fund-manager di Jakarta. Sayang, berbagai upaya tak membuahkan hasil, sementara Pak Harto terlihat sulit untuk mencari jalan keluar dari krisis. "Pak Harto sudah kehilangan 'sentuhannya'," tulis Lee.

Perkembangan yang kemudian dianggap Lee mencengangkan adalah ketika akhir Januari 1998 Pak Harto mengumumkan kriteria calon wakil presiden berikutnya. Dari kriteria itu, jelas yang dimaksud adalah BJ Habibie.

Di mata Lee, Habibie bukanlah sosok yang tepat untuk mendampingi Pak Harto di saat krisis. Dia sendiri menyebut Habibie sebagai sosok "high cost and high tech project."

Beberapa pemimpin asing yang prihatin dengan pilihan itu kemudian meminta Lee menemui Pak Harto dan memberikan nasihat untuk tidak memilih Habibie. Namun, di tengah krisis seperti itu tidak mungkin bagi Lee ke Jakarta karena bisa dengan mudah disebut sebagai bentuk campur tangan.

Sebagai jalan keluarnya, pada 7 Februari 1998, Lee menyampaikan sebuah pidato yang mengingatkan bahwa pasar diguncang dengan kriteria wakil presiden yang harus memenuhi syarat menguasai ilmu dan teknologi.

"Apabila pasar tidak selaras dengan siapa pun yang dimaksud dengan calon wakil presiden, rupiah akan melemah kembali," ujar Lee.

Pak Harto kemudian memang terpilih kembali sebagai Presiden dan Habibie sebagai Wakil Presiden. Tapi, krisis tidak teratasi, demo mahasiswa semakin besar. 2 Bulan setelah itu, Pak Harto berhenti sebagai presiden.

"Dimulai dengan problema ekonomi yang memerlukan penyelamatan IMF, ternyata telah berakhir dengan terlemparnya seorang presiden," tulis Lee.

Foto dok. Liputan6.com


Saat Pak Harto dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Lee pun menyempatkan diri untuk bertandang dan menjenguknya. "Saya ingin menghormatinya sebagai sahabat lama dan rekan yang tangguh. Soeharto layak mendapatkan pengakuan atas kontribusi hidupnya terhadap Indonesia dan dunia luar," kata dia ketika itu.

Tak hanya itu, dia juga menyayangkan nasib Soeharto yang tak mendapat kehormatan sebagaimana mestinya. "Saya sedih sahabat lama saya, yang bekerja sama dengan saya selama 30 tahun terakhir, tak memperoleh kehormatan sepantasnya," kata dia kepada media Singapura.

Kekuasaan kemudian beralih kepada Habibie selaku Wakil Presiden untuk menggantikan Pak Harto. Usai menjabat sebagai Presiden RI, Habibie membenarkan bahwa Lee sempat meragukan dirinya untuk menangani krisis moneter yang tengah mengguncang perekonomian.

"Nanti kalau Habibie jadi Presiden, dolar akan tembus Rp 16 ribu," kata Habibie di Jakarta pada 2008, menuturkan pendapat Lee saat ia baru saja dilantik.

Mendengar penilaian itu, Habibie mengaku tak menanggapi perkataan Lee. "Saya diam dan terus bekerja sampai akhirnya dolar bisa saya stop ke angka Rp 6.500," tutur dia.

Foto dok. Liputan6.com


Perkembangan tersebut ternyata juga tak lepas dari pengamatan Singapura. Melihat pesatnya kemajuan tersebut, Lee akhirnya mengirimkan surat resmi melalui Menteri Negara BUMN Tanri Abeng.

"Isi suratnya, 'Saya (Lee) salah tentang Anda (Habibie)'. Itu namanya intelektual. Dia jantan mengakui kesalahannya," ucap Habibie.

Tak cuma soal Habibie, Lee juga kembali menyulut kekesalan pemerintah Indonesia ketika pada 2002 dia menyinggung keberadaan tokoh Majelis Mujahidin Indonesia, Abu Bakar Baasyir, yang masuk dalam daftar pencarian polisi Singapura dan Malaysia.

Dalam sebuah acara, Lee berkata, "Singapura tetap berada dalam kondisi berisiko dari serangan teroris karena para pimpinan wilayah teroris masih berkeliaran di Indonesia."

Pemerintah Indonesia yang dipimpin Megawati Soekarnoputri geram. Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan sangat menyesalkan pernyataan Lee.

Foto dok. Liputan6.com


SBY menganggap pernyataan tersebut tidak layak dilontarkan, karena intelijen Indonesia dan Singapura tengah menjalin kerja sama untuk menangani terorisme.

"Langkah itu sedang dilakukan dan bukannya kita diam saja. Jadi, Jangan terlalu cepat mengatakan ada terorisme dan Indonesia menjadi sarang pentolan," kata SBY kala itu.

Ketua MPR Amien Rais ketika itu juga tak kalah geram dan mengeluarkan wacana agar Lee meminta maaf. "Kalau perlu Indonesia menuntut Lee meminta maaf untuk menghindari ketidakharmonisan hubungan bilateral Indonesia-Singapura," tegas dia.

Setelah terpilih sebagai Presiden RI, SBY kembali menegur Singapura. Negeri Singa, tempat persembunyian strategis bagi koruptor asal Indonesia, dianggapnya setengah hati melakukan perjanjian ekstradisi yang sudah diteken pada 2007. 

Foto dok. Liputan6.com


"Saya sampaikan pada Lee, ada satu agenda kerja sama yang dulu hampir diberlakukan, tapi terhenti, yaitu kerja sama di bidang ekstradisi, sekaligus kerja sama di bidang pertahanan. Tetapi tiba-tiba terhenti," ujar SBY di Istana Bogor, Jawa Barat, 13 Maret 2012, setelah bertemu dengan Perdana Menteri Lee Hsien Loong.

Seiring dengan bertambahnya usia, Lee pun makin jarang tampil atau berkomentar terkait soal-soal politik atau ekonomi kawasan. Yang jelas, keberadaan serta perhatian Lee terhadap perpolitikan serta perekonomian Indonesia sulit dinafikan.

Sebagian kalangan menganggap itu hal yang wajar lantaran Indonesia bagi Lee tak ubahnya sebagai Tanah Air kedua. Alasannya, kerabat dan leluhur Lee serta sang istri berasal dari Jawa dan Kalimantan.

Selanjutnya: Perantau Jawa yang Sukses di Singapura...


Perantau Jawa yang Sukses di Singapura

Perantau Jawa yang Sukses di Singapura

Melalui memoarnya, Lee mengungkap tentang banyaknya kesamaan antara dia dan istrinya Kwa Geok Choo yang meninggal pada 2 Oktober 2010. Nilai-nilai dan bahasa, bahkan asal usul serta keterkaitan orangtua mereka dengan tanah Jawa. Terutama ayah Lee yaitu Lee Chin Koon.

Menurut data pada Dewan Perpustakaan Nasional Singapura, kakek Lee adalah Lee Hoon Leong yang bekerja untuk perusahaan pelayaran Heap Eng Moh. Perusahaan itu milik taipan asal Semarang, Oei Tiong Ham. Lee Hoon bertemu gadis Semarang, Ko Liem Nio, yang dinikahinya pada 1899.

"Lee Hoon Leong (26) bertemu gadis Ko Lien Nio (16) yang dijumpai dan dinikahi di Semarang, Jawa Tengah, tahun 1899. Lalu, lahirlah Lee Chin Koon, ayah Lee Kuan Yew," kata Sejarawan Didi Kwartanada yang juga alumnus National University of Singapore.

Sementara itu, kakek dari pihak ibunya, Chua Jim Nio, yakni Chua Kim Teng, memiliki asal-usul dari Semarang dan Malaka di Semenanjung Malaya.

Malaka adalah bagian dari straits settlements Inggris yang mencakup Penang dan Singapura. Wilayah straits settlements memiliki populasi penduduk Tionghoa peranakan yang cukup besar yang dikenal sebagai The Straits Chinese.

Istri ketiga Chua Kim Teng, yakni nenek dari pihak ibu Lee, adalah Neo Ah Sung, yang berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Lee dalam memoarnya mengaku sang nenek bisa berbicara dalam dialek Hakka dan Melayu Pontianak.

Pasangan Lee Hoon Leong dan Ko Lien Nio tinggal di Semarang dan melahirkan putra bernama Lee Chin Koon, hingga Lee Hoon dipercaya untuk mengelola aset Oei Tiong Ham di Singapura.

Mereka pindah ke Singapura dan menjalani kehidupan sebagai keluarga kaya. Namun, depresi besar pada akhir 1920-an dan awal 1930-an, turut berdampak bagi keluarga ini.

Ayah PM Singapura pertama, Lee Chin Koon, bekerja sebagai penjaga toko untuk perusahaan minyak Belanda, Shell. Dia kemudian menikah pada usia 20 tahun dengan Chua Jim Neo pada 20 Mei 1922.

Foto dok. Liputan6.com


Chua Jim adalah putri tertua pengusaha kaya Chua Kim Teng dan Neo Ah Soon, keluarga Hakka dari Pontianak, Kalimantan Barat. Melahirkan putra pertamanya setahun setelah menikah, mereka memberi nama Lee Kuan Yew bagi bayi yang lahir pada 16 September 1923 itu. Pasangan ini memiliki tiga putra lagi dan seorang putri.

Lee Kuan Yew mengeyam pendidikan dasar di sekolah China, Choon Guan selama 4 tahun. Sebagai peranakan etnis Hakka, mereka di rumah berbicara dengan dialek Hakka, bukan Mandarin.

Lee kemudian menikah dengan Kwa Geok Choo, teman kuliahnya di Inggris. Lee menyebutnya sebagai pernikahan tak resmi, karena dilakukan tanpa sepengetahuan orangtua mereka.

Keduanya kembali menikah secara resmi pada 30 September 1950 dan memiliki 2 putra dan satu putri. Putra tertuanya Lee Hsien Loong, saat ini menjabat sebagai Perdana Menteri Singapura sejak 2004.

Foto dok. Liputan6.com


Keluarga istri Lee dari pihak ayah Kwa Geok Choo yang bernama Kwa Sew Tee adalah seorang Bankir OCBC yang memiliki akar keluarga kelahiran Jawa. Namun, tidak dijelaskan di kota mana di Jawa yang menjadi asal keluarga mereka. Sementara dari pihak ibu, berasal dari Straits Born Chinese.

"Itu sebabnya Lee Kuan Yew dalam memoarnya menjelaskan, dia dan istri memiliki banyak kesamaan dari bahasa dan norma karena adanya asal-usul dari Straits Chinese dan Nusantara," ujar Didi.

Jika kembali dirunut pada cerita sebelumnya, bisa dimaklumi kenapa Pak Harto setiap bertemu Lee selalu berbicara 4 mata. Menurut Didi, diplomat senior yang menjadi penerjemah Presiden Soeharto semasa Orde Baru, Widodo Sutiyo, mengaku pertemuan Lee dan Pak Harto tidak pernah menggunakan penerjemah.

"Mereka selalu bertemu 4 mata dan berkomunikasi dengan bahasa pasaran. Berbeda dengan pertemuan Pak Harto dengan Perdana Menteri Goh Chok Tong yang memerlukan penerjemah," ujar Didi mengutip keterangan Widodo yang pernah menjadi Duta Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan.

Pada akhirnya, benang merah kedekatan serta perhatian yang diperlihatkan Lee kepada Indonesia bisa ditemukan. Bolehlah dikatakan bahwa semua itu merupakan wujud dari keinginan Lee agar Indonesia sebagai akar dirinya juga menjadi negara yang makmur, tak jauh beda dengan Singapura, negara kecil yang telah diukirnya hingga menjadi raksasa ekonomi. (Dari berbagai sumber/Ein)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya