Harga Obat Selangit, Pasien Hipertensi Paru Menjerit

Pasien-pasien hipertensi paru menjerit karena obat yang harus mereka konsumsi setiap bulannya membutuhkan dana sebesar jutaan rupiah.

oleh Liputan6 diperbarui 31 Mar 2015, 12:28 WIB
Seorang wanita, Katie Goard (25) ditemukan tidak bernyawa setelah minum obat pelangsing dan kafein.

Liputan6.com, Jakarta Pasien-pasien hipertensi paru menjerit karena obat yang harus mereka konsumsi setiap bulannya membutuhkan dana sebesar jutaan rupiah.

Hipertensi paru adalah sebuah penyakit langka dimana kondisi tekanan darah antara jantung dan paru tinggi sehingga kemudian darah tidak bisa tersirkulasi dengan baik. Kondisi ini disebabkan oleh penyebab primer dan sekunder yang kemudian jika tidak diterapi dengan baik maka akan menimbulkan kematian akibat gagal jantung bagi para pengidapnya.

Kondisi ini di Indonesia kebanyakan dialami oleh kelompok perempuan dan anak. Kondisi rentan disaat seorang perempuan melahirkan dan mengalami emboli paru menjadi salah satu pemicu timbulnya penyakit ini yang cukup dominan.

“Sayangnya, banyak pasien yang belum terdiagnosa atau salah diagnosa dengan asma, ppok dll dikarenakan alat diagnosa yang kurang memadai dan dokter yang belum banyak mengenal hipertensi paru. Hal ini juga menyebabkan kebanyakan pasien didiagnosa saat sudah dalam tahap parah, sehingga sulit diobati dan tidak lama kemudian meninggal dunia", kata Indriani Ginoto, Koordinator dari Kelompok Dukungan bagi pasien Hipertensi Paru (www.phaindonesia.org).

Dengan segala keterbatasan, kelompok dukungan pasien ini menggunakan media Facebook "IndoPH Family" dan Blackberry Messenger untuk berkomunikasi satu sama lain guna berbagi informasi penyakit hipertensi paru, pengobatan maupun saling memberikan dukungan emosional guna menjaga semangat hidup.

Anggota dari Facebook Groups yang dibuat oleh kelompok dukungan ini mencapai 261 orang yang merupakan pasien dan keluarga dari pasien dari penyakit yang selama ini terabaikan. Jumlah pasien hipertensi paru sendiri diyakini masih ada ribuan dan jauh lebih besar dari jumlah yang bisa terhubung dengan kelompok dukungan pasien ini.

Jumlah pasien terdata yang masih sedikit membuat perhatian pemerintah ke kasus ini menjadi terbatas. Jika tidak diobati dengan baik, maka tingkat kegagalan jantung dari pasien hipertensi paru ini cukup besar bisa dipastikan bahwa pasiennya akan mengalami kematian.

Hal lain yang memberatkan bagi pasien penyakit ini adalah harga obat yang cukup mahal. Saat ini, obat yang cukup efektif untuk menerapi penyakit ini adalah sildenafil atau biasa dikenal dengan nama Patentnya Viagra.

“Harga obat ini mencapai 125 ribu rupiah untuk setiap butirnya (100mg), dan setiap pasien harus mengkonsumsi antara 75-150mg setiap hari sepanjang hidupnya. Pengeluaran pasien hipertensi paru untuk obat sildenafil ini sekitar 3-6 juta setiap bulannya belum ditambah dengan pengeluaran obat lain dan juga biaya konsultasi dokter.”, kata Indriani Ginoto.

Pasien hipertensi paru harus mengkonsumsi obat sepanjang hidupnya guna mencegah berkembangnya penyakit menjadi lebih parah. Hal ini membuat banyak pasien yang kemudian menyerah dikarenakan ketidakmampuan dalam membiayai pengobatannya dan meninggal dunia.

JKN sangat diharapkan bisa turut mengakomodir kebutuhan pasien akan obat ini. Selama ini, obat sildenafil belum masuk kedalam daftar formularium nasional yang bisa ditanggung oleh JKN, dikarenakan indikasi sildenafil untuk hipertensi paru (revatio - merek dagang sildenafil dari pfizer khusus untuk hipertensi paru) yang belum terdaftar di Indonesia.

"Kami sudah mengajukan hal pendaftaran ini ke kemenkes dan Pfizer Indonesia dan sedang dalam proses menunggu jawaban Pfizer Pusat. Kami harap Pfizer mengerti dan tidak memandang revatio ini dari segi farmaekonomi dan bisnis saja, tetapi dari segi kemanusiaan. Terutama bila kita melihat sidenafil (Viagra) yang merupakan produk blockbuster atau andalan utama Pfizer selama ini, dengan isi obat yang sama persis 100%, revatio bisa menolong nyawa banyak orang, tentu hal ini harus menjadi pertimbangan utama dalam mengambil keputusan tentang revatio", jelas Indri.

"Kami pasien sangat berharap Jokowi, Menkes Prof Nila Moeloek dan pihak farmasi bisa memahami kesulitan kami ini dan menindaklanjuti proses yang sudah berjalan sehingga dapat berjalan dengan lancar, memahami bahwa ini adalah lifesaving drug, memahami bahwa jumlah kami yang sedikit ini menyulitkan suara kami untuk dapat terdengar, dimana hal ini tentu tidak menghilangkan hak kami sebagai manusia untuk hidup, terutama dengan komitmen kuat yang ditunjukkan pemerintah tentang hak hidup dan sehat melalui program JKN maupun Indonesia Sehat yang ada", tutup Indriani Ginoto.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya