YLKI Minta Jokowi Lupakan Mimpi Punya Kereta Shinkansen di RI

YLKI mendesak pemerintahan Jokowi supaya membenahi infrastruktur kereta api di Indonesia yang compang-camping.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 02 Apr 2015, 08:00 WIB
Negara-negara ini telah mengalahkan Indonesia dalam hal teknologi kereta api cepat. Apa saja?

Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan Indonesia tidak membutuhkan kereta super cepat (high speed railways/HSR) atau sering juga disebut dengan Shinkansen dalam waktu dekat ini. Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta fokus membangun dan membenahi infrastruktur kereta api (KA) di Indonesia.

"Kereta super cepat lupakan dulu. Tidak urgent kok, siapa yang bayar nanti, kan tidak ada subsidi dari pemerintah," tegas Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Kamis (2/4/2015).

Tulus mendesak pemerintahan Jokowi supaya membenahi infrastruktur kereta api di Indonesia yang compang-camping. Membangun jalur KA di daerah Timur Indonesia, di samping proyek tol laut yang sudah digagas selama lima tahun ke depan.

"Benahi infrastruktur KA yang sudah ada, seperti tambah keretanya, perbaiki stasiunnya. KRL juga dibetulin. Itu sudah jauh lebih manusiawi dibanding kereta super cepat yang sifatnya mercusuar policy," jelasnya.

Menyoal nota kesepahaman (MoU) proyek kereta super cepat yang sudah terlanjur di‎teken Presiden Jokowi dengan pemerintah China, Tulus meminta untuk diubah. "Ubah saja proyeknya, bisa kan membangun kereta api lain misalnya di Luar Jawa, karena kita butuh sekali," pungkas dia.

Foto dok. Liputan6.com


Hal yang sama juga diungkapkan oleh  Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto. Menurutnya, pembangunan kereta super cepat  tersebut sebenarnya akan membantu mobilitas dan sistem logistik di Indonesia jika dibangun dalam jarak yang panjang. "Tentu akan banyak membantu soal mobilitas orang maupun barang, mungkin akan perbaiki sistem logisitik kita," ujarnya.

Namun, Suryo menilai untuk saat ini kebutuhan akan kereta cepat di Indonesia belum terlalu mendesak. Menurutnya, kecepatan kereta yang ada saat ini hanya butuh tingkatkan dua hingga tiga kali lipat saja untuk mendukung pergerakan masyarakat dan logistik.

"Tapi apakah Indonesia butuh atau tidak? ya sekarang kecepatan kereta 80 kilometer (km) per jam, dengan itu jadi 350 km per jam. Hemat saya tidak perlu secepat itu, 2 kali hingga 3 kali lipatnya dari 80 km per jam saja sudah lumayan," lanjutnya.

Selain itu, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan kereta ini juga tidak sedikit. Hal ini tentu perlu menjadi pertimbangan pemerintah untuk dijadikan program pembangunan yang prioritas.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil menjelaskan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani 8 nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan Presiden Tiongkok Ci Jinping. Salah satu yang disepakati pembangunan kereta super cepat Jakarta-Bandung.

Menurut Sofyan, proyek kereta super cepat membutuhkan studi lebih lanjut. Studi ini akan digarap dengan bantuan pemerintah Tiongkok. "Butuh studi lebih lanjut terhadap implementasi kereta super cepat Jakarta-Bandung, karena MoU sudah ditandatangani," ungkap dia.

Presiden Jokowi, tambah Sofyan, akan memutuskan pembangunan proyek kereta super cepat Jakarta-Bandung pada tahun ini. Sebelumnya pemerintah Jepang telah menggarap studi proyek tersebut di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

"Komitmennya tahun ini, tapi nanti kami akan lihat studi mana yang lebih cepat, lebih mudah dan yang kita butuhkan bagi Republik ini. Apakah teknologinya pakai punya Tiongkok atau Jepang," terangnya.

Sofyan mengaku, pemerintah belum menghitung nilai investasi yang dibutuhkan untuk proyek tersebut. Namun diharapkan studi bisa selesai dalam waktu secepatnya dan dalam waktu depan diputuskan siapa yang akan membangun kereta super cepat Jakarta-Bandung. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya