Pakar: Langkah BNPT Tutup Situs Online Bisa Picu Masalah Baru

Menurut pakar komunikasi UGM, jika itu memang situs berita harusnya bisa membedakan mana kebebasan pers dan tindak pidana.

oleh Liputan6 diperbarui 03 Apr 2015, 07:10 WIB
Pengguna tablet membuka salah satu website yang belum diblokir Kemkominfo di Jakarta, Rabu (1/4/2015). Kemkominfo memblokir 22 situs/website bernuansa radikal yang diadukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Langkah Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) memerintahkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menutup 19 situs Islam mengejutkan banyak pihak.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Jumat (3/4/2015), pihak BNPT menyatakan, sejumlah situs internet yang ditutup tersebut diduga menyebarkan paham radikal mengatasnamakan agama, mengkafirkan orang lain, mendukung ISIS, dan memaknai jihad secara sempit.

"Kalau sifatnya radikal, mendirikan negara Islam, mengafirkan kelompok lain, atau bicara masalah jihad yang radikal ini kalau dibaca oleh orang-orang yang pemahaman agamanya dangkal ini bisa terpengaruh," ujar Ketua BNPT Saud Usman Nasution.

Namun pernyataan BNPT tersebut dipertanyakan sejumlah pengelola situs Islam yang ditutup. Salah satunya Dewan Redaksi VOA-Islam.com Aendra Medita mengatakan, seharusnya BNPT dan Kemkominfo memberikan pemberitahuan dulu sebelum menutup situs.

"Ya keberatannya karena ditutup tiba-tiba, itu aja. Kalau ada pemberitahuan nggak ada masalah. Pemberitahuan situs Anda dalam peringatan. Otomatis kan mereka akan memperbaiki, ada permohonan maaf. Orang komplain juga seperti itu," jelas Aendra.

Pakar komunikasi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Wisnu Martha Adiputra menilai, langkah BNPT tersebut bisa memicu konflik baru. Apalagi sebagian situs online yang ditutup adalah portal berita yang mengacu kepada UU Pers.

"Kalau situsnya menyampaikan berita berarti kan dia institusi pers. Ya lewat Undang-undang Pers dong. UU Pers jelas, ada Dewan Pers. Dan harus dipisahkan mana yang kebebasan pers dan mana yang pidana. Jelas memecah-belah bangsa, menebar kebencian, menghina itu pidana," terang Wisnu.

Sedangkan Ulama Indonesia Ustaz Arifin Ilham meminta, pemerintah bijak dengan membuka kembali situs tersebut. Ia juga meminta pemerintah duduk bersama dengan pengelola situs internet untuk menyelesaikan masalah ini.

"Musyawarah dan duduk bersama itu budaya kita. Tidak langsung men-judge, kemudian memutuskan ini radikal. Buka kembali. Ini bukan negara otoriter. Ini negara yang sudah kita sepakati bersama kita hidup dalam semangat musyawarah untuk kebaikan kita ke depan," tandas Arifin.

Mengantisipasi berkembangnya paham radikal dan menyebarnya pengaruh ISIS di Indonesia, BNPT dan Kemkominfo menutup sejumlah situs online yang dianggap berbahaya. Akibatnya masyarakat tidak bisa mengakses situs-situs itu untuk mendapatkan informasi. Namun sejak Selasa 31 Maret lalu sebagian dari 19 situs yang ditutup sudah bisa diakses kembali. (Nfs/Ans)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya