Liputan6.com, Jakarta - Ekonom memandang langkah Pemerintah melakukan liberalisasi berbagai harga komoditas belum sempurna karena masih ada sistem monopoli dan oligopoli. Akibatnya, liberalisasi tersebut justru membentuk struktur pasar yang gagal (market failure).
Ekonom IPMI International Business School, Jimmy M Rifai Gani menjelaskan, langkah yang dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah mengurangi beban subsidi energi dan menyerahkan mekanisme pasar dalam penentuan harga. Bahan Bakar Minyak (BBM), Elpiji non subsidi atau Elpiji ukuran 12 kilogram (kg) dan juga tarif listrik menjadi beberapa contohnya. Penentuan harga beberapa komoditas tersebut mengikuti harga minyak mentah dan juga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Namun, pemerintah saat ini masih menjalankan fungsi [monopoli](monopoli "") atau oligopoli meskipun sistem yang diterapkan adalah sistem liberal. Contohnya, untuk BBM dan Elpiji saat ini masih dikuasai oleh PT Pertamina Persero). Untuk listrik masih dikuasai oleh PT PLN (Persero). Langkah tersebut justru membentuk struktur pasar yang gagal (market failure) di dalam pasar komoditas domestik.
"Karena market failure tersebut akhirnya harga sulit dikendalikan. Nah, harga komoditas ini ditentukan oleh kegagalan pasar," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (7/4/2015).
Ia melanjutkan, jika pemerintah membuat kebijakan dengan mengacu pada harga pasar yang masih belum stabil, rakyat bakal merasakan kenaikan harga berbagai komoditas di saat nilai tukar rupiah semakin melemah atau Indonesia Crude Price (ICP) kembali normal.
Ketika harga minyak dunia anjlok hingga di bawah US$ 50 per barel, tambahnya, pemerintah memang memiliki kelonggaran fiskal hingga Rp 92 triliun. Dana tersebut dialokasikan ke sejumlah proyek pembangunan seperti MRT, tol atas laut, jatah anggaran pembangunan untuk 65.714 desa, 16 bandara, 9 proyek rel kereta dan lain-lain.
"Namun, bagaimana jika uang penghematan subsidi itu sudah dialokasikan, sementara harga minyak dunia kembali normal? Jangan main-main, karena kenaikan harga minyak ini berdampak besar, terutama rakyat yang masih dibawah garis kemiskinan. Oleh sebab itu, kelonggaran fiskal seharusnya dapat dialihkan ke sesuatu yang berdampak langsung terhadap rakyat," katanya.
Jimmy menilai, para teknokrat ekonomi negara perlu mengambil langkah-langkah fundamental perekonomian domestik. Langkah jangka pendek seperti subsidi, masih diperlukan untuk mendukung fundamental ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.
Lebih lanjut, kebijakan publik pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla kerap menimbulkan polemik di masyarakat. "Misalnya, kebijakan uang muka pembelian kendaraan bermotor pejabat negara atau penunjukan Komisaris BUMN." Jimmy berharap persoalan subsidi energi ini dapat diselesaikan dengan kebijakan yang tidak menggerus dukungan publik. (Gdn)
Subsidi Masih Diperlukan Buat Dukung Fundamental Ekonomi
Kelonggaran fiskal seharusnya dapat dialihkan ke sesuatu yang berdampak langsung terhadap rakyat.
diperbarui 07 Apr 2015, 12:47 WIB(Foto: Antara)
Advertisement
Advertisement
POPULER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
Menko Polkam Minta AKP Dadang Iskandar Dihukum Berat
Mengintip Profil Paslon Pilgub Sulawesi Selatan 2024 dan Riwayat Pendidikannya
Bahaya Tanam Pohon di Lintang Tinggi, Bikin Pemanasan Global Makin Parah
Hari Tenang Pilwalkot 2024, Kota Semarang Bersih dari APK
Jadwal Sholat DKI Jakarta, Jawa dan Seluruh Indonesia Hari Ini Selasa 26 November 2024
Cara Praktis Mengolah Lidah Sapi Agar Empuk dan Antibau
Cara Mudah Membuat Ikan Teri Goreng Tetap Renyah Tanpa Tepung
Rahasia Mengolah Kikil Agar Tetap Lezat dan Tidak Lengket
Buah Favorit untuk Diet yang Efektif dan Menyenangkan
Ais PKB Sebut OTT Instrumen yang Masih Diperlukan untuk Pemberantasan Korupsi
Profil Paslon Cagub dan Cawagub Sulawesi Barat 2024, Berikut Partai Pengusungnya
Ide Menu Ayam Diet Rumahan yang Mudah dan Menggugah Selera