Liputan6.com, Massachusetts - Persidangan kasus bom Boston memasuki babak akhir. Dzokhar Tsarnaev dinyatakan bersalah dalam pengeboman saat lomba maraton tahunan Boston. Kini, Dewan Juri harus memutuskan apakah pria 21 tahun ini akan dijatuhi hukuman mati.
Para juri di Pengadilan Federal Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, Rabu 8 April 2015 waktu setempat, mempertimbangkan vonis ini selama 11 jam dalam dua hari pertemuan. Ini setelah mendengarkan berbagai kesaksian selama 16 hari, untuk kasus pemboman Maraton Boston yang menewaskan tiga orang dan mencederai 264 orang.
"Ia (Dzokhar Tsarnaev) dinyatakan bersalah atas berbagai tuntutan, termasuk di antaranya konspirasi dan penggunaan senjata pemusnah masal. Semua tuntutan tersebut bila dinyatakan bersalah dapat berujung pada hukuman mati," ucap sumber di Pengadilan Boston, seperti dilansir VOA News, Kamis (9/4/2015).
Saat memasuki persidangan, terdakwa yang mengenakan sweater biru dan blazer warna gelap tampak pucat. Ia terus menundukkan kepala selama berlangsungnya pembacaan vonis.
Pada tahapan persidangan berikutnya, para pengacara Tsarnaev akan menyajikan berbagai bukti yang dimaksudkan untuk meringankan hukumannya. Termasuk di antaranya bukti-bukti terkait keluarga Tsarnaev, hubungannya dengan kakaknya, serta masa kecilnya di Kirgistan dan kemudian wilayah Dagestan yang penuh konflik.
Vonis bersalah untuk Tsarnaev sudah diduga sebelumnya. Para pengacaranya mengakui bahwa ia berpartisipasi dalam pengeboman, tapi mengatakan bahwa kakaknya yang tewas, Tamerlan, 26 tahun, merupakan otak di balik serangan maut tersebut.
30 Tuntutan
Juri diminta untuk memutuskan 30 tuntutan terhadap Tsarnaev, termasuk dakwaan meledakkan 2 bom rakitan dalam lomba maraton tahunan yang menewaskan 3 orang dan mencederai 264 lainnya pada 15 April 2013.
Jaksa memaparkan berbagai bukti bahwa terdakwa, yang beretnis Checnya dan berimigrasi dari Rusia 10 tahun sebelum pengeboman, membaca dan mendengarkan berbagai materi mengenai jihad. Tsarnaev pun sempat menulis surat singkat di perahu tempat ia bersembunyi yang menyatakan bahwa pengeboman Boston merupakan aksi pembalasan terhadap tindakan militer AS di negara-negara mayoritas Muslim.
Sejak tahun 1947, Massachusetts belum pernah mengeksekusi seorang pun. Bahkan, beberapa hari lalu, uskup-uskup Katolik di negara bagian itu menegaskan menentang penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku bom Boston tersebut. (Ans)
Advertisement