Liputan6.com, Jakarta - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) ikut mengkhawatirkan perbudakan Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia di kapal asing. Hal ini menyusul terkuaknya kasus serupa oleh PT Pusaka Benjina Resources di perairan Tanah Air.
Presiden KSPI, Said Iqbal menyatakan, jika perbudakan ini menimpa ABK asal Indonesia artinya ada pelanggaran Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Setiap orang yang menerima perintah kerja, menerima upah dan ada pekerjaan, maka disebut buruh atau pekerja. Sehingga para ABK ini adalah buruh yang harus dilindungi UU Nomor 13 dan UU Nomor 39 Tahun 2004 soal TKI," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Jumat (10/4/2015).
Pelanggaran atas kasus perbudakan ini, dinilai Said, antara lain terkait pembayaran upah tidak layak, ketiadaan jaminan kesehatan, jaminan pensiun, jam kerja dan jam istirahat tidak menentu.
Bagi pemilik kapal yang mempekerjakan ABK Indonesia dengan tidak layak, kata dia, harus dihukum pidana sesuai aturan di Indonesia. Kewajiban perusahaan lainnya yaitu membayarkan kekurangan upah beserta denda, termasuk jaminan kesehatan, uang lembur dan hak ABK lain.
"Pemilik kapal kan biasanya ingin mendapat untung besar tapi bayar upah murah dan tidak perlu kasih jaminan sosial kepada ABK. Jadi seharusnya pemilik kapal kan lapor ke Disnaker setempat dan izin menangkap ikan ke Dinas Kelautan, tapi mereka tidak melakukannya," jelas Said.
Kasus perbudakan ABK Indonesia di kapal asing merupakan tanggung jawab Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Kelautan Perikanan Susi Pudjiastuti.
"Menakertrans dan Menteri Susi adalah pejabat yang paling bertanggungjawab terhadap kasus perbudakan. Jangan hanya sekadar menenggelamkan kapal ecek-ecek saja," tegas Said.
Sebelumnya muncul kekhawatiran dari Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengenai nasib sama yang menimpa ABK asal Indonesia di kapal asing yang berlayar di laut negara lain.
"Saya sangat khawatir banyak ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing seluruh dunia dan bernasib sama dengan orang Myanmar di sini. Kita tidak tahu cara merekrutnya seperti apa," katanya.
Yang paling menyedihkan bagi Susi, pihaknya tidak mempunyai data mengenai berapa banyak warga negara Indonesia yang mencari nafkah atau diperbudak kapal asing. Pasalnya, dia mengaku, itu bukan tanggungjawab dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
"Sekarang kita blank, nggak tahu mau mulai dari mana. Tidak punya data sama sekali warga Indonesia yang kerja di kapal asing, karena bukan kerjaan kita, bukan lewat KKP. Ribuan? I don't know. Tapi dari laporan media di Benjina saja 4.000 lebih ABK, kapal Vietnam yang pernah kita lindungi sampai 15 ribu ABK. Belum di daerah lain dan kapal besar lain. Untuk kapal 100 GT saja, ABK yang kerja 20-30 orang, apalagi yang 300 Gt-700 GT," jelasnya. (Dny/Nrm)