Liputan6.com, Jakarta Negara berkewajiban melindungi segenap warga negara Indonesis tanpa terkecuali, termasuk para penyandang disabilitas. Dalam pelaksanannya membutuhkan payung hukum yang jelas agar bisa maksimal dan terarah.
"Rancangan Undang-Undang (RUU) disabilitas telah menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sehingga nantinya bisa menjadi acuan dan payung hukum dalam pemberdayaan penyandang disabilitas, ” kata Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa di acara seminar dan lokakarya, advokasi RUU Penyandang Disabilitas di Jakarta, Kamis (9/4/2015).
Advertisement
Inklusivitas dalam pembangunan pengarusutamaan jender secara eksplisit harus lebih terang, seperti jender mainstreaming dengan Instruksi Presiden (Inpres). Misalnya, Kementerian PU dalam pembangunan sudah memperhatikan fasilitas bagi penyandang disabilitas atau belum.
“Pembangunan infrastruktur yang dibangun Kementerian PU, mesti memberikan fasilitas bagi penyandang disabilitas. Misalnya, lift yang dilengkapi suara yang menginformasikan posisi di lantai berapa, ” katanya.
Sekolah inklusif harus diperbanyak di berbagai tempat. Di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian KUKM dalam program-programnya harus ada perencaaan bagi kalangan penyandang disabiltas.
"Melalui Inpres tersebut, pembangunan nasional bagi penyandang disabilitas dimulai dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi agar bisa mengakses bagi mereka, baik netra, grahita, rungu dan wicara,” katanya.
Dalam UU disabilitas terdahulu lebih menitiktekankan pada penanganan panyandng disabiltas yang tentatif. Tapi kini dalam RUU Prolegnas diharapkan dirubah lebih ke arah substantif pengarusutamaan dalam pembangunan nasional.
Realitas di tengah-tengah masyarakat memang tidak mudah untuk dirubah pola pikir dan cara pandang agar tidak menutup-nutupi dan menyembunyikan anggota keluarganya penyandang disabilitas.
“Ini fakta di tengah masyarakat, masih banyak masyarakat yang merasa malu dan aib bila memiliki anggota keluarga penyandang disabilitas, sehingga mereka menutup-nutupinya, ” ujarnya.
Karena itu, para aktivis perempuan, pemerhati masalah disabilitas, serta pera pihak terkait lainnya untuk saling mengingatkan pada saat pembahasan RUU penyandang disabitilas agar bisa menghasilkan regulasi yang benar-benar manfaatnya dirasakan para penyandang disabilitas.
“Saya minta pada pembahasan RUU tersebut untuk saling meningatkan agar bisa menghasilkan produk perundangan yang manfaatnya bisa dirasakan para penyandang disabilitas, ” harapnya.
Dari 12 persen penyandang disabilitas, 82 persennya berada di negara-negara berkembang yang berada garis kemiskinan. Mereka rentan di semua sektor kehidupan, apalagi penyandang disabilitas perempuan.
Penyandang disabilitas perempuan dari status ekonomi rendah, tidak memiliki akses kepada pendidikan dan kesehatan. Masalahnya menjadi lebih kompleks yang membutuhkan penanganan serius dari semua pihak.
“Sebanyak 7-8 juta penyandang disabiltas berusia produktif, tapi sebagian besar tidak bekerja. Kemudian, mereka dikucilkan dari pendidikan, dunia kerja, serta kehidupan masyarakat, ” tandasnya.
Saat ini, masih banyak para penyandang disabitas mental dirantai dengan posisi jongkok dalam rentang waktu bertahun-tahun. Pihak keluarga beralasan sangat sederhana atas tindakan itu, karena khawatir penyandang disabilitas mental itu berkeliaran di jalan.
“Banyak laporan ke saya, terkait penyandang disabiltas yang dirantai oleh keluraganya. Sehingga saya mengutus orang agar segera menindaklanjuti untuk ditangani, ” ujarnya.