Liputan6.com, Surabaya - Surip melangkah menuju tanah kosong milik PT Telkom di Jalan Nelayan, Pabean Cantikan, Surabaya. Hatinya deg-degan, harap-harap cemas. Mungkin, di antara semak belukar di sana, ada harta karun tersembunyi. Begitu kata orangtuanya.
Wangsit itu datang lewat mimpi. Sang ayah mengaku didatangi sesosok manusia yang memberi petunjuk gaib. Entah benar atau tidak, setidaknya pencari besi tua itu ingin membuktikannya.
Advertisement
Cangkul pun diayun. Tak ada apapun di lubang pertama. Surip tak menyerah, ia terus menggali dan membuat lebih banyak liang. Tiba-tiba, terdengar suara dentang, ujung cangkulnya mengenai benda keras. Logam.
Surip berusaha mengangkat temuannya itu, dibantu sejumlah orang. Dan ternyata, benda itu adalah meriam kuno. Ada 4 jumlahnya. Karena ngeri bisa meledak, ia cepat-cepat melapor ke pihak berwenang.
Kepala Badan Narkotika Nasional Kota Surabaya, AKBP Suparti masih mengingat kejadian pada Sabtu 26 Januari 2008 sore. Kala itu ia menjabat sebagai Kapolsek Pabean Cantikan.
“Tempatnya di wilayah perbatasan Kecamatan Pabean Cantikan dan Kecamatan Krembangan Surabaya, atau di belakang kantor Telkom atau sebelah rumah tahanan Kalisosok yang sudah tidak berfungsi,” tuturnya saat dihubungi Liputan6.com.
Perwira polisi itu mengaku mendapatkan informasi dari laporan masyarakat. Bahwa ada pemulung yang menemukan meriam. “Dari laporan tersebut, kami berangkat menuju TKP yang lokasinya tertutup dan banyak semak-semaknya,” imbuhnya.
Butuh waktu hampir 1 minggu untuk mengambil artileri-artileri kuno itu. Menggunakan eskavator. “Jumlahnya sebanyak 16 sampai 18 meriam. Dengan kondisi patah 2 sampai 3 meriam dan yang utuh sebanyak 15 meriam. Ke semuanya sudah kami serahkan ke Polrestabes Surabaya,” kata Polwan yang akrab dipanggil ‘Bunda’ itu.
Meriam yang masih utuh kini dipajang di sejumlah kantor. Di depan Mapolrestabes Surabaya, di muka kantor Polsek Bubutan, dan lainnya di Kantor Telkom.
“Harapannya sih, supaya instansi tersebut berkoordinasi dengan balai purbakala. Bagaimana cara merawat dan menjaga meriam tersebut supaya tidak rusak,” pungkasnya.
Penelusuran Liputan6.com, di depan Mapolrestabes Surabaya, terdapat sepasang meriam yang dibuat dari baja, panjang 288 cm. Ada tulisan 1806 atau 1809 yang diduga sebagai angka tahun.
Meriam-meriam tersebut menjadi bukti sejarah Surabaya sebagai kota industri artileri.
Selanjutnya: Pabrik Senjata Bikinan Daendels...
Pabrik Senjata Bikinan Daendels
Pabrik Senjata Bikinan Daendels
Pada 1806, Raja Belanda Louise Napoleon atau Lodewijk Napoleon mengirimkan salah satu jenderalnya, Herman Willem Daendels, ke Hindia Belanda. Dengan jabatan baru sebagai Gubernur Jenderal.
Sang raja, yang adalah adik Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte, bertitah agar Daendels mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Belanda kala itu dikuasai Prancis.
Sejak tiba di Batavia pada 5 Januari 1808, Daendels yang memerintah dengan tangan besi, menyiapkan wilayah koloni dari serangan musuh.
Pada masa kepemimpinannya yang singkat, 1808-1811, pria berjuluk ‘Napoleon of the Indies’ tak hanya menyempurnakan dan memperlebar jalan raya pos Anyer-Panarukan sepanjang 1.000 km, tapi juga membangun rumah sakit, barak militer, sekolah militer, juga pabrik senjata di Semarang dan Surabaya.
"Khusus yang di Surabaya, pabrik senjata itu diberi nama pabrik konstruksi artileri atau Artillerie Constructie Winkel (ACW)," ujar Dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (Unair), Ikhsan Rosyid.
Ratusan seniman dan pekerja Jawa bekerja di bawah pengawasan insinyur Eropa dan mandor di Artillerie Constructie Winkel, salah satu pabrik terbesar di Jawa Dwipa. Demikian diungkap dalam buku, Java, Sumatra, and the Other Islands of the Dutch East Indies karya Antoine Cabaton.
Pabrik tersebut sebenarnya bukan dikhususkan untuk pabrik senjata saja, tetapi sekaligus menjadi armada perang bagi tentara. “Di pabrik itu ada tempat pembuatan senjata, markas tentara, dan sekaligus sebagai tempat reparasi kapal perang,” lanjut Ikhsan Rosyid.
Pabrik senjata yang dibangun Daendels di Surabaya adalah pabrik senjata modern pada masanya. Juga bisa mencetak mesin dan mencetak barang-barang yang berbahan dasar logam.
“Dari situlah, maka pabrik yang berada di Surabaya itu menjadi pusat atau contoh bagi pabrik mesin, pabrik besi, pabrik pengecoran logam di seluruh Indonesia,” tambah Ikhsan Rosyid.
Namun, kelak, pada 1910 pembuatan senjata dipindah ke Kiaracondong, Bandung. Sementara pabrik yang berada di Surabaya masih tetap memproduksi mesin dan kapal yang menjadi dasar berdirinya PT PAL dan Pangarmatim.
"Kenapa Daendels memindahkan pabrilk senjata itu ke Bandung, karena ia merasa Bandung jauh dari pelabuhan yang disinyalir awal dari serangan musuh. Dan pada waktu itu Bandung sudah memiliki jalur kereta api yang bisa digunakan mempercepat pendistribusian senjata ke daerah-daerah," pungkasnya.
Selanjutnya: Cikal Bakal PT Pindad...
Advertisement
Cikal Bakal PT Pindad
Cikal Bakal PT Pindad
Pada dasawarsa kedua Abad ke-20, Perang Dunia I pecah. Konflik yang dipicu pembunuhan pewaris tahta Austria-Hungaria, Franz Ferdinand di Sarajevo menjalar ke seluruh Eropa.
Pemerintah kolonial Belanda pun mulai mempertimbangkan relokasi sejumlah instalasi penting yang dinilai lebih aman.
Bandung dinilai sebagai lokasi yang sesuai secara geografis: kontur daerahnya berupa perbukitan dan pegunungan yang bisa dijadikan bentang pertahanan alami terhadap serangan musuh. Posisinya juga sangat strategis karena sudah memiliki sarana transportasi darat yang memadai, dilalui oleh Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dan dilalui jalur kereta api Staats Spoorwegen.
Selain itu, kota berjuluk Parijs van Java tersebut letaknya tidak jauh dengan pusat pemerintahan Hindia Belanda, Batavia.
Artilerie Constructie Winkel (ACW) dipindahkan pertama kali ke Bandung, pada rentang waktu 1918-1920. Lalu, digabung bersama 3 instalasi persenjataan lain menjadi Artilerie Inrichtingen (AI).
Zaman kemudian berubah. AI dikuasai Jepang, yang memanfaatkan fasilitas tersebut untuk memproduksi senjata dalam rangka melawan Sekutu. Pada masa kekosongan kekuasaan atau vacuum of power, pejuang perang Kemerdekaan RI berusaha merebut kendali atas instalasi senjata. Awalnya, para pemuda mengadakan perundingan dengan pihak Jepang. Namun gagal total.
Sehingga, pada 9 Oktober 1945 dengan serentak para pekerja yang dibantu laskar pemuda pejuang menyerbu kompleks instalasi persenjataan. "Aksi ini berhasil tanpa perlawanan berarti dari Jepang. Kemudian instalasi ini diberi nama Pabrik Senjata Kiaracondong," demikian petikan sejarah yang dimuat dalam buku, Prabu Kresna di Pindad.
Pada 1962, instalasi persenjataan tersebut kemudian terlahir kembali sebagai Perindustrian TNI Angkatan Darat (Pindad). Sempat terjadi masalah kala itu. Di tengah Operasi Seroja di Timor Timur, senapan SPI atau senapan Tipe BM-59 MK.1 banyak mengalami kendala di lapangan. Yakni, longsong yang macet, picu lepas, popor kayu pecah, dan kompensator yang bedah.
Kemudian pada 1981, Pindad berubah status dari bagian dari TNI Angkatan Darat menjadi perusahaan berbentuk perseroan terbatas (PT). Beralih ke tangan sipil. Dan pada awal 1983 Pindad menjadi badan usaha milik Negara (BUMN).
Pindad menjadi salah satu garda depan untuk mewujudkan kemandirian pertahanan bangsa. Sejumlah produk unggulan telah dihasilkan: panser anoa, senapan SS, dan senapan sniper SPR.
Ke depan, PT Pindad juga akan memulai produksi alat-alat berat seperti traktor dan sejenisnya. Produksi tersebut dimaksudkan untuk mempercepat kemandirian negara dalam menjalankan proyek-proyek infrastruktur.
"Alat berat ini bagian dari penugasan bagaimana teknologi pertahanan dapat mendukung industri atau produk yang dijual non-pertahanan," kata Direktur Utama Pindad, Silmy Karim. (Ein/Yus)