Liputan6.com, Jakarta Pekan ini, hampir pasti bioskop Tanah Air bakal antre. Namun, hampir pasti pula film yang diantre bukan film Indonesia, melainkan Hollywood. Dari berbagai kabar yang tersebar di dunia maya, mulai Rabu (22/5/2015) rilis Avangers: Age of Ultron.
Film milik Marvel Studios (anak perusahaan Disney) yang didistribusikan PT Omega Film di Indonesia itu paling ditunggu penonton film sedunia, termasuk Indonesia. Apalagi, kita di Indonesia berkesempatan nonton lebih dulu ketimbang warga Amerika yang baru bisa nonton sekuel Avengers itu mulai 1 Mei.
Advertisement
Di minggu Avengers: Age of Ultron rilis, ada dua film Indonesia yang juga rilis, Romeo+Rinjani dan Turis Romantis. Dua-duanya rilis Kamis (23/4/2015). Romeo+Rinjani dirilis rumah produksi StarVision milik Chand Parwez. Filmnya dibintangi Kimberly Ryder dan Alexa Key. Sedang Turis Romantis produksi Mahaka Pictures. Salah satu produsernya Hanung Bramantyo. Filmnya antara lain dibintangi Shaheer Sheikh dan Kirana Larasati.
Maka, pertanyaannya kemudian, mampukah Kimberly Ryder dan Shaheer Sheik melawan kedigdayaan superhero jagoan Marvel macam Hulk, Iron Man, Captain America, dan Thor?
Hm, kita akan lihat hasil pertarungan yang tampaknya tak seimbang itu pekan ini di bioskop-bioskop terdekat. Kita akan melihat mana studio yang penontonnya mengular nanti, filmnya Shaheer Sheikh atau Robert Downey Jr..
Yang jelas, beberapa minggu terakhir, film nasional terkena dampak film blockbuster Hollywood. Sekitar sebulan lalu, ada film Hollywood Cinderella (milik Disney) yang menyita perhatian penonton kita. Setelahnya, giliran Fast and Furious 7 membuat penonton mengantre.
Film terakhir mendiang Paul Walker itu malah dicatat laman Deadline, Minggu (19/4/2015), sebagai "film terlaris sepanjang masa di Indonesia."
Tren Edar Film Hollywood Telah Berubah
Tren Edar Film Hollywood Telah Berubah
Saat edar di minggu pertama April lalu, sejumlah bioskop bahkan menyediakan empat layarnya untuk Fast and Furious 7. Tiket juga sudah dijual sejak 27 Maret, atau lima hari sebelum resmi rilis.
Bukan tak mungkin hal yang sama bakal terjadi saat Avengers: Age of Ultron rilis pertengahan minggu ini.
Avengers: Age of Ultron menandai serangan film-film musim panas Hollywood. Di sana, memang ada tradisi "summer movies" saat Hollywood merilis film-film blockbuster yang berpotensi mendatangkan banyak penonton.
Namun, yang mungkin luput dicermati penonton atau bahkan pelaku industri perfilman Tanah Air, Hollywood sendiri saat ini tak melulu merilis film blockbuster di musim panas atau tengah tahun.
Tren yang kini terjadi di sana, untuk menghindari persaingan ketat saat musim panas, film-film blockbuster Hollywood rilis bisa di awal tahun atau akhir tahun.
Contoh paling jelas Hollywood menghindari persaingan ketat di musim panas yakni saat Warner Bros. mengalah memajukan jadwal rilis Batman v Superman jadi 25 Maret 2016 (awal tahun) dari semula 6 Mei 2016 (pertengahan tahun, saat musim panas). Langkah itu diambil agar Batman v Superman tak rilis berbarengan dengan Captain America 3 (milik Marvel Studios) dan berebut penonton.
Nah, Maret kemarin film nasional harus bersaing dengan Cinderella, April dengan Fast and Furious 7, lalu Mei dengan Avengers: Age of Ultron, film-film besar apalagi dari Hollywood yang bisa menghadang film nasional kita?
Selain Avengers 2, bulan Mei ada Mad Max: Fury Road, Insidious 3; di bulan Juni ada Jurassic World; bulan Juli ada Terminator Genesys dan Inside Out milik Pixar dan film superhero Ant-Man; bulan Agustus ada Pixels dan Fantastic Four; bulan September ada Hotel Transylvania 2; bulan Oktober ada Jungle Book; bulan November ada film James Bond Spectre; dan Desember ada Star Wars: The Force Awakens.
Dan pertanyaan berikutnya adalah mampukah film-film nasional kita berhadapan dengan film-film di atas?
Advertisement
Menunggu Regulasi Pemerintah
Menunggu Regulasi Pemerintah
Ichwan Persada, seorang produser film, mengatakan film Indonesia harus bersaing dengan film Hollywood adalah kenyataan yang tak bisa dihindari.
"Tidak ada regulasi yang mengatur tata edar film untuk melindungi film nasional," kata Ichwan saat berbincang dengan Liputan6.com, Senin (20/4/2015) siang. Film nasional harus bersaing head to head dengan film Hollywood.
Nah, masalahnya, seperti dijelaskan produser film Hijabers in Love (2014) itu, kini film Hollywood kian meningkatkan ongkos produksinya, sementara di lain pihak film nasional justru menekan ongkos produksi karena susah dapat penonton.
Dari sini kemudian kita bisa melihat perbedaan yang jomplang dari production value film Hollywood dengan film nasional.
Ichwan memberi gambaran, saat ini untuk membuat film nasional berbujet Rp 3 miliar, agar tak merugi harus mendapat minimal 150 ribu penonton. "Bila membuat film di atas Rp 3 miliar, pemodalnya harus siap merugi, atau ada perusahaan yang siap menalangi," katanya. (Sebagai pembanding, angka Rp 3 miliar itu hanya sekuku dari bujet Fast and Furious 7 yang mencapai USD 190 juta atau Rp 2,4 triliun.)
Untuk mengatasi persaingan dengan Hollywood, kata Ichwan Persada, yang diperlukan regulasi pemerintah. "Pemerintah harus punya aturan jelas," kata Ichwan sambil mencontohkan Malaysia memberi waktu 2 minggu film nasionalnya edar di bioskop. "Semoga dengan (sekarang) ada Badan Ekonomi Kreatif ada aturan jelas tentang perfilman," harapnya.
Produser yang filmnya Miracle: Jatuh dari Surga rilis Desember tahun ini masih optimis ada potensi penonton film nasional. "Tinggal kita mencari celahnya saja, nggak setiap minggu ada film besar Hollywood. Kita masih bisa bersaing," kata Ichwan optimis. Ya, optimisme sangat dibutuhkan saat ini. (Ade)