Liputan6.com, Ljubljana - Penampilan pria itu mirip Indiana Jones: topi lebar, sepatu kulit setinggi lutut, dan mengenakan stelan warna khaki. Makin jauh ia menembus hutan, kian deras keringat yang mengucur dari tubuhnya.
Dengan parang di tangan, ia menyibak semak belukar tebal yang menghadang. Lalu, tiba-tiba, matanya terbelalak. Pemandangan luar biasa terpampang di depan: sosok mirip monster dengan mulut terbuka lebar dan memamerkan taring.
Ternyata, itu sebuah gerbang menuju peradaban yang hilang. Pintu masuk itu sudah hancur, batunya menghitam, namun keagungannya yang kolosal tak lekang oleh masa.
Reruntuhan itu adalah contoh luar biasa dari apa yang disebut para arkeolog sebagai "zoomorphic portal" -- yang lebih populer dengan julukan "monster mouth gate" -- gerbang mulut raksasa.
Gerbang itu dulu adalah pintu masuk ke kota kuno Suku Maya, yang dibangun pada sekitar tahun 700 Masehi -- yang ditinggalkan secara misterius 4 abad setelahnya.
Juga masih ada piramida yang hancur dan reruntuhan istana yang nyaris berserak. Hari itu, pada 2014, arkeolog Slovenia, Ivan Sprajc menemukan kota Lagunita yang telah lama hilang. Di tengah hutan tropis di Semenanjung Yukatan, Meksiko.
"Foto udara membantu kami menemukan situs tersebut," kata Sprajc, peneliti dari Research Center of the Slovenian Academy of Sciences and Arts (ZRC SAZU), seperti Liputan6.com kutip dari situs Discovery.
Kini, 'negeri antah berantah' itu telah dipetakan, disisir, diukur, dan ditandai dengan segala macam cara.
Era ketika para penjelajah menemukan dunia baru seakan sudah lama lewat. Namun, masih ada para petualang yang menyisir pojokan dunia yang terlupakan. Seperti Ivan Sprajc -- yang mendedikasikan mayoritas dari usianya yang 60 tahun, menjelajah hutan belantara.
Ia adalah yang pertama melihat penampakan piramida kuno setinggi 30 meter dalam foto udara, dari kantornya di pinggiran jalan berbatu di Ljubljana, Slovenia -- yang jauhnya 10.000 kilometer dari lokasi Lagunita.
Namun temuan itu tak ada bandingannya dengan perjumpaannya dengan gerbang Lagunita
Bagaimana rasanya menemukan sebuah kota yang hilang? "Itu seperti sebuah kemenangan," jawab Sprajc, seperti dikutip CNN, Rabu (22/4/2015). Apalagi, jika itu adalah buah keberhasilan dari kerja keras.
Dia menceritakan, sering timnya membabat semak belukar untuk mencari situs tertentu, tanpa mengetahui pasti apa yang akan mereka temukan. Jadi ketika menemukan situs penting, rasanya seperti menjadi juara.
Advertisement
Sejak 1996, Sprajc dan timnya menemukan lebih dari 80 kota kuno Suku Maya di hutan Meksiko. Hanya sedikit dari temuan itu, yang keberadaannya di masa lalu, diketahui dunia modern.
Namun, bagaimana caranya sebuah kota yang pernah dihuni puluhan ribu orang menghilang begitu saja?
Sprajc menjelaskan, wilayah di mana situs-situs itu berada, belum pernah dieksplorasi sebelumnya. Bahkan ada yang sama sekali tak bisa diakses. "Sangat sulit untuk sampai di sana. Kebanyakan berada di cagar biosfer, kawasan alam yang dilindungi dan tak pernah dihuni sejak runtuhnya kebudayaan Maya Klasik dalam kurun waktu 1.000 tahun terakhir.
Saat kota-kota kuno ditinggalkan manusia, maka alam mengambil alih.
Selanjutnya: Misteri yang Belum Terpecahkan...
Misteri yang Belum Terpecahkan
Misteri yang Belum Terpecahkan
Mengapa banyak pemukiman terabaikan, bahkan sebelum kedatangan penjajah Spanyol, tetap menjadi misteri? Sprajc mengatakan, 90 persen permukiman di dataran rendah, di selatan dan tengah Semenanjung Yukatan terabaikan dalam kurun waktu 200 tahun.
Pada tahun 1000 Masehi, praktis semua terabaikan. Demikianlah situasi sebelum orang-orang Spanyol datang.
Namun, tidak demikian di utara dan dataran tinggu Guatemala. Kehancuran dan runtuhnya peradaban di sana adalah akibat kedatangan penjajah.
"Tak ada yang tahu urutan kejadiannya. Namun mungkin akibat kombinasi kekeringan, perubahan iklim, dan overpopulasi. Hal-hal lain muncul sebagai konsekuensi: perang antara negara-negara kota Maya. Yang mirip kejadian perselisihan tak berujung antara polis-polis di Yunani.
Pada periode Klasik Akhir (Late Classical), perang makin menjadi dengan konsekuensi kehancuran. Ketika sebuah negara kota hancur atau takluk, dampaknya akan terasa pada jaringan perdagangan Maya.
Meski mendapatkan bantuan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, Sprajc mengatakan, di tengah hutan belantara, kegigihan, telapak tangan yang berkarat, keringat, darah, dan kesabaran lebih penting dari perangkat atau gadget.
"Kami bisa bertahan hidup tanpa komputer, tapi tidak tanpa parang," kata dia. (Ein/Yus)
Advertisement