Ditjen Pajak Tak Jera Terapkan Sunset Policy

Dalam aturan Sunset Policy yang sedang digarap pemerintah, selain bersifat voluntary, ada juga yang bersifat keharusan (mandatory).

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 23 Apr 2015, 10:10 WIB
Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan tak jera menerapkan kebijakan penghapusan sanksi administrasi pajak (sunset policy), meski pernah mengalami kegagalan pada 2008. Tahun ini, Ditjen Pajak kembali menjalankan kebijakan sunset policy dan diklaim bisa mendulang keberhasilan karena telah didukung dengan kelengkapan data Wajib Pajak yang mumpuni.

Pengamat Perpajakan Universitas Indonesia, Ruston Tambunan menjelaskan, pendorong Ditjen Pajak menerapkan kembali kebijakan sunset policy karena target penerimaan pajak pemerintah cukup tinggi. Selain itu, Ditjen Pajak juga sedang berusaha menegakkan kepatuhan Wajib Pajak.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 diamanatkan bahwa dari total target penerimaan pajak Rp 1.294,3 triliun, sebesar Rp 904,1 triliun rencananya akan diperoleh dari penerimaan rutin, sedangkan sisanya sebesar Rp 390,2 triliun harus dikejar dengan upaya ekstra (extra effort).

"Lebih dari 50 persen atau separuh target penerimaan pajak dari extra-effort tersebut atau sekitar Rp 200 triliun diharapkan dapat dicapai melalui Sunset Policy Jilid II," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Kamis (23/4/2015).

Sebenarnya apa itu Sunset Policy?

Ruston menjelaskan, Sunset Policy digunakan untuk menggambarkan kebijakan pemerintah yang pernah diterapkan di Indonesia yaitu pemberian penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.

Hal ini diatur dalam  Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Pemberian penghapusan sanksi bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar berlaku bagi:

  • Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan  melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) sebelum tahun pajak 2007 yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih lebih besar.
  • Wajib Pajak orang pribadi yang belum mempunyai NPWP tetapi secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

Pemerintah mengklaim Sunset Policy yang diterapkan pertama kali tersebut sukses karena berhasil memperoleh tambahan penerimaan pajak 2008 sebesar Rp 7,46 triliun. Tercatat bahwa hanya pada 2008 saja Ditjen Pajak bisa melampaui target penerimaan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Melalui Sunset Policy, lanjutnya, diperoleh tambahan sejumlah 5,5 juta Wajib Pajak baru. Namun menurut Ruston, target jangka panjang dari pemberlakuan Sunset Policy tersebut tak berhasil.

"Sayang dari sumber data Ditjen Pajak, tingkat kepatuhan Wajib Pajak ternyata tidak menunjukkan peningkatan secara signifikan paska Sunset Policy," papar Konsultan Pajak di CITASCO itu.

Saat ini, lanjut Ruston, Menteri Keuangan maupun Dirjen Pajak sedang menyiapkan ketentuan perpajakan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan terkait dengan kebijakan pengurangan dan penghapusan sanksi administrasi. Rencananya peraturan ini mulai berlaku per 1 Mei 2015 hingga akhir 31 Desember 2015.

Kebijakan ini dinamakan Sunset Policy Jilid II yang disebut-sebut sebagai Reinventing Policy. Bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan, baik yang telah maupun yang belum  menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan, SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, SPT Masa PPh maupun SPT Masa PPN, akan diberikan penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan penyampaian SPT, pembetulan SPT dan keterlambatan penyetoran atau pembayaran pajak apabila dalam 2015, Wajib Pajak menyampaikan atau melakukan pembetulan SPT untuk lima tahun ke belakang.

Apa perbedaan Sunset Policy Jilid I dan II?

  • Landasan hukum kewenangan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga pada Sunset Policy Jilid I adalah Pasal 37A UU KUP, sedangkan pada rencana Sunset Policy Jilid II penghapusan sanksi administrasi menggunakan kewenangan Direktur Jenderal Pajak yang terdapat dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP.
  • Pemberian penghapusan sanksi administrasi pada Sunset Policy Jilid I dilakukan dengan KPP tidak menerbitkan STP, sedangkan pada Sunset Policy Jilid II ini nantinya STP atas sanksi administrasi akan tetap diterbitkan lalu akan dihapuskan setelah KPP menerima permohonan penghapusan dari Wajib Pajak.
  • Pada Sunset Policy Jilid I penyampaian atau pembetulan SPT mengandalkan pada kesukarelaan (voluntary) Wajib Pajak, sedangkan dalam Sunset Policy Jilid II, selain bersifat voluntary, ada juga yang bersifat suatu keharusan (mandatory).

(Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya