Liputan6.com, Jakarta Spesialis Jantung Anak Konsultan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) menekankan, vaksin tidak berlabel atau bersertifikasi halal bukan berarti haram.
"Sebenarnya, kalau kita kembali ke kaidah Islam, halal dan haram itu bukan dari sertifikat, tapi tergantung zat yang ada di dalamnya," kata Piprim di Jakarta, Kamis (23/4/2015)
Advertisement
Vaksin tidak berlabel atau bersertifikat halal, jelas dia, menjadi isu yang terus bergulir, yang pada akhirnya membuat masyarakat menolak lakukan vaksinasi.
Jika kita mengaitkannya dengan Islam, perlu diketahui kaidah sebenarnya dalam Islam adalah sebagaimana disebutkan dalam ilmu ushul fiqih.
"Asal semua benda adalah mubah, sampai ada dalilnya bahwa itu haram barulah disebut haram. Jadi, syarat suatu zat disebut halal, jika tak ada unsur haram di dalamnya," kata dia menambahkan.
Menurut Piprim, tak 'adil' bila kaidah halal dan haram antara makanan dan obat dipukul rata. "Kalau makanan, kita bebas memilih. Kalau ada makanan haram, masih ada alternatifnya, karena makanan yang tidak ada babinya sangat banyak," kata dia.
Namun, jika terkait dan vaksin dan seandainya vaksin itu dihukum sebagai sesuatu yang haram, tidak ada alternatif pengganti vaksin.
"Mau diganti apa? Herbal? Nggak bisa. Diganti air susu ibu (ASI) pun tidak bisa. Kalau pun tetap keukeuh nggak halal, ini tetap harus ada agar tidak timbul wabah di negeri ini," kata Piprim.
Dalam konferensi Islam pada 2003, cerita Piprim, para pakar mengatakan bila kita menyebut sertifikasi halal dan haram pada vaksin dan obat esensial, akan lebih banyak mudarat daripada manfaatnya ketika belum ada alternatif lain pengganti vaksin.
"Lagi pula, kalau kita mau mengklaim vaksin itu haram, kita harus melihat dan tunjukan bagian mana di label yang membuat vaksin itu haram," kata Piprim.
"Setiap vaksin yang bersinggungan dengan babi, dituliskan dalam proses pembuatannya bahwa bersinggungan tapi di proses akhir sudah tidak ada lagi," kata dia menambahkan.
Menurut dia, inilah yang sering dilupakan. Padahal, bila mau berbicara mengenai fiqih, kita harus melihat hasil akhir dari zat itu.
"Ketika lihat wine, tidak adil dong mengatakan wine halal karena berasal dari anggur yang halal," kata Piprim.