Liputan6.com, Jakarta Tahun ini jaringan nasional yang memberi perhatian pada penghapusan eksploitasi anak, ECPAT Indonesia fokus melakukan penelitian daerah mana saja yang dijadikan pariwisata seks anak (PSA). "Tiga terbesar itu adalah Jakarta, Medan, dan Bali," kata Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, Ahmad Sofian dalam diskusi `Membedah Jual Beli Seks Anak Online` di Bakoel Coffee, Cikini Raya, Jakarta, Rabu (29/4/2015)
PSA, jelas Ahmad, merupakan eksploitasi anak di daerah pariwisata yang melibatkan pemberian uang, pakaian, makanan atau dalam bentuk kebaikan lain, baik yang diserahkan langsung ke anak atau melalui perantara.
"Semua ini dilakukan oleh wisatawan yang memang berniat melakukan hubungan seksual dengan anak," kata Ahmad. PSA dapat terjadi dalam kurun waktu yang lama, khususnya jika ada proses di mana sang pelaku berteman dengan anak, untuk menarik kepercayaannya sebelum dieksploitasi.
Menurut Ahmad, pariwisata seks anak bisa terjadi di mana saja, di seluruh penjuru dunia. "Karena memang tidak ada satu pun negara yang kebal terhadap pariwisata seks anak," kata Ahmad menerangkan. Untuk pelaku, Ahmad menyebut tak memandang apa pun jenis kelaminnya.
Tiga kategori
Namun, pelaku PSA dikelompokkan menjadi tiga kategori.
1. Wisatawan seks anak situsional
Pelaku ini melakukan kekerasan terhadap anak dengan cara coba-coba karena ada kesempatan. Pelaku ini tidak memiliki kecenderungan seksual khusus terhadap anak-anak.
"Dan kebanyakan wisatawan seks anak adalah pelaku situasional," kata Ahmad menerangkan.
2. Wisatawan seks anak preferrensial
Pelaku ini menunjukkan sebuah pilihan seks aktif terhadap anak. Walau pun pelaku masih memiliki kemampuan untuk tertarik sama yang seusia (lebih dewasa), tapi mereka akan tetap mencari anak-anak yang umumnya masih puber atau remaja untuk berhubungan seksual.
3. Pedofil
Pedofil menunjukkan sebuah kecenderungan seksual khusus terhadap anak-anak yang belum puber.
Advertisement