Liputan6.com, Jakarta Lembaga nonpemerintah yang berkonsentrasi pada penghapusan eksploitasi seksual anak (ECPAT) menyatakan bahwa praktik eksploitasi anak di Indonesia kian memprihatinkan seiring dengan digunakannya media daring (online) sebagai alat transaksi.
"Berdasarkan penelitian kami sejak 2012 dan kini masih berjalan, ada empat bentuk eksploitasi seksual anak yaitu prostitusi anak, pornografi anak, perdagangan seks anak, dan pariwisata seks anak," kata Koordinator ECPAT Indonesia Ahmad Sofian dalam diskusi dengan judul "Membedah Jual Beli Seks Anak Online" di Jakarta, Rabu.
Advertisement
Dia mengatakan keempatnya ditemukan di Indonesia dalam bentuk prostitusi tapi dijualnya secara 'online'.
Dalam penelitiannya di tiga kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, dan Surabaya, pihak ECPAT mewawancarai 14 anak yang menjadi korban eksploitasi seksual "online", sejumlah polisi, beberapa kementerian dan dinas terkait, para pelaku usaha di sektor perhotelan dan pariwisata serta para aktivis pembela hak anak.
Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa praktik eksploitasi seksual terhadap anak beragam di setiap kota. Di Bandung misalnya, ditemukan sekitar 257 kasus anak yang diperjualbelikan secara online melalui media sosial dan media pesan singkat (messaging).
Sedangkan di Surabaya ada ratusan mucikari atau germo yang memasarkan anak melalui online, bahkan gambar anak-anak yang mengandung konten seksual juga diperjualbelikan ke luar negeri.
Sementara itu di Jakarta, di samping mucikari, pembeli atau pengguna seks anak ikut mendistribusikan gambar-gambar porno anak ke media sosial, blog, serta website.
Bahkan ditemukan sejumlah pelajar melakukan hal serupa dengan berbagai motivasi entah itu faktor ekonomi maupun mengikuti gaya hidup (life style).
Tidak hanya digunakan sebagai media perantara, media "online" bahkan sudah digunakan sebagai bisnis jual beli seksual terhadap anak dimana anak diminta mempraktikkan adegan seks di hadapan kamera yang terhubung dengan internet menggunakan fasilitas "skype".
Seorang turis asal Singapura diketahui telah melakukan praktik seks "online" tersebut kepada seorang anak di Batam, Indonesia.
Empat sindikasi
Sindikasinya ada empat, kata Ahmad, yaitu merekrut anak dan memasarkan ke media sosial (bisa dilakukan oleh mucikari atau sesama korban dalam bentuk jejaring), membuat website berbayar dimana pengguna seks harus mentransfer sejumlah uang untuk bisa berselancar di website tersebut.
Kemudian ada pula sindikasi mengundang anak ke suatu tempat untuk kemudian mengambil fotonya lalu menjualnya ke jaringan pedofilia. Modus seperti ini kerap terjadi di Bali dimana turis asing yang merupakan pedofil mengundang anak-anak ke hotel atau vila kemudian menyuruh mereka berenang sebelum akhirnya mengambil gambar anak-anak tersebut.
Yang terakhir adalah mencari anak melalui iklan dan mengambil foto anak secara profesional sebelum menjual foto-foto tersebut ke pengelola website pornografi di luar negeri.
"Rekrutmen ini masih terus terjadi di Indonesia dan tidak bisa dipantau, bahkan ada beberapa website yang dikelola oleh orang Indonesia sendiri," ujar Ahmad.
Ia mengatakan bahwa banyaknya praktik eksploitasi seksual pada anak juga disebabkan beberapa mitos seperti risiko terhadap penularan penyakit seksual lebih rendah dan berhubungan seks dengan anak akan terasa lebih bergairah.
ECPAT Indonesia mencatat sedikitnya ada 2,5 juta email mengandung konten pornografi setiap hari didistribusikan di dunia maya. Selain itu, merujuk dari data National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) tahun 2012, ditemukan sebanyak 18.747 pornografi "online" pada anak di Indonesia.
"Kami memperkirakan per tahun sekitar 100-150 ribu anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual," tutur Ahmad.
Sementara di level global, Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB di Bidang Kekerasan terhadap Anak, Mario Santos Pais, mencatat sekitar 150 juta anak perempuan dan 73 juta anak laki-laki mengalami pemerkosaan ataupun kekerasan seksual setiap tahunnya termasuk anak-anak yang menjadi objek seks komersial dan seks "online".
Advertisement
Penegakan hukum
Penegakan Hukum
ECPAT mendorong dibentuknya undang-undang khusus yang mengatur tentang antiprostitusi dan antipornografi terhadap anak untuk mengurangi jumlah konsumen atau pembeli seks anak melalui media online.
"Segera dibuat UU antiprostitusi anak, karena sampai saat ini belum ada satu pun artikel atau pasal dalam UU Perlindungan Anak maupun UU Perdagangan Manusia yang menyatakan bahwa barangsiapa membeli atau mencoba membeli seks pada anak adalah perbuatan pidana dan dapat dikenai sanksi pidana," ujarnya.
Selama ini, menurut dia, hukum yang berlaku di Indonesia lebih menitikberatkan pada pemberian sanksi untuk sindikat penyedia seks anak seperti germo atau mucikarinya, tapi pembeli atau pengguna seks anak malah dibiarkan saja.
Indonesia sebenarnya telah meratifikasi instrumen hukum internasional yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait penanggulangan eksploitasi seksual anak melalui UU Nomor 10 Tahun 2012 tentang Protokol Opsional Konvensi Hak Anak, namun hingga kini belum ada legislasi nasional untuk menindaklanjuti isi konvensi tersebut.
UU antipornografi
Sementara itu negara-negara tetangga sudah menerapkan UU antiprostitusi anak seperti Thailand sudah menerapkan sejak 2008, Filipina sejak 2006, dan yang terbaru Vietnam sudah sejak 2011.
Ia menuturkan sudah seharusnya pemerintah Indonesia mengikuti jejak negara-negara tersebut dengan memasukkan UU antiprostitusi anak ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) agar permintaan akan seks terhadap anak berkurang atau bahkan berhenti sama sekali.
"Karena satu-satunya cara menghentikan praktik eksploitasi seksual anak adalah dengan penerapan hukum yang tegas dan pemberian sanksi yang berat. Praktik seperti itu tidak akan pernah berhenti jika 'demand' masih tinggi," katanya.
Sedangkan terkait dengan terkuaknya praktik jual beli seks anak di salah satu apartemen di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Ahmad mendesak pemerintah dan penegak hukum untuk memberikan sanksi administrasi berupa pengumuman kepada publik dan pencabutan izin usaha pada pihak apartemen atau hotel yang mengizinkan terjadinya eksploitasi seksual anak di kawasan usaha mereka.
"Sanksi administrasi harus diumumkan ke publik sebagai bagian dari tanggung jawab mereka atas terjadinya eksploitasi seksual anak di lingkungan hotel atau apartemen," tuturnya. Budi Suyanto
Advertisement