Liputan6.com, Jakarta - Aroma pergantian atau perombakan Kabinet Kerja kian berhembus kencang akhir-akhir ini. Lantaran, kinerja pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) selama enam bulan ini justru menghasilkan realisasi pertumbuhan ekonomi 4,71 persen di kuartal I 2015.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finances (INDEF), Enny Sri Hartati mengungkapkan, reshuffle merupakan kewenangan Presiden Jokowi dengan melihat pencapaian kinerja perekonomian Indonesia pada tiga bulan pertama ini.
Advertisement
"Reshuffle adalah kewenangan Jokowi. Tapi harus diidentifikasi realisasi pertumbuhan ekonomi kita, karena pencapaiannya justru anjlok bukan melambat lagi," terang dia saat berbincang dengan wartawan di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Rabu (6/5/2015).
Enny menjelaskan, faktor penyebab perlambatan ekonomi Indonesia bukan saja berasal dari eksternal seperti pelemahan ekonomi dunia, namun juga karena penyerapan belanja pemerintah yang kurang maksimal.
"Kalau pemerintah tidak merecoki atau mengganggu daya beli masyarakat, maka baseline pertumbuhan ekonomi kita masih bisa lima persen. Artinya jika ekonomi hanya 4,71 persen, ada kebijakan ekonomi pemerintah yang mendistorsi," tegas Enny.
Dalam hal ini, Enny menyalahkan tim ekonomi Jokowi-JK yang tak mampu bekerja secara maksimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Kalau tim ekonominya cakap dalam bekerja, ekonomi kita bisa tumbuh lima persen. Jadi kalau tidak cakap, ya mau tidak mau harus di reshuffle," sarannya.
Namun demikian, dia enggan menyebut nama-nama menteri ekonomi yang seharusnya masuk calon di reshuffle. "Soal itu kan urusan Pak Jokowi," ucap dia sambil tersenyum.
Dirinya menilai, tim ekonomi Kabinet Kerja sangat mengetahui bakal terjadi perlambatan serapan belanja pemerintah karena ada pelemahan ekonomi dunia. Seharusnya, Enny bilang, pemerintah perlu mengelola perekonomian secara sungguh-sungguh untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
"Tapi kebijakan tim ekonomi justru menyebabkan daya beli masyarakat jatuh, dengan kalkulasi tidak prudent," papar dia.
Sebagai contoh, kata dia, demi berambisi mendapatkan ruang fiskal lebih besar, pemerintah terus mengambil kebijakan penyesuaian harga. Diantaranya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik naik selama tiga tahun berturut-turut termasuk untuk golongan industri yang sangat tinggi.
"Dengan kondisi ini, wajar saja bila kinerja perusahaan tekstil dan lainnya yang sangat bergantung dengan listrik langsung mencatatkan kinerja buruk. Harusnya pemerintah menyetel keseimbangan, memikirkan setiap kebijakan ekonomi supaya punya desain komprehensif. Jangan ambisi saja dapatkan ruang fiskal," ujar Enny. (Fik/Ahm)