Liputan6.com, Jakarta - Infrastruktur merupakan sektor yang sangat krusial untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Global Head of Emerging Markets for FX, Rates and Credit UBS Investment Bank, Lutfey Siddiqi mengatakan, saat ini terdapat dua negara di Asia yang tengah sibuk melakukan reformasi termasuk di sektor infrastruktur.
"Di India, ada janji perubahan yang digaungkan perdana menteri yang baru. Begitu pula di Indonesia dengan berbagai agenda reformasi dari presiden terpilih, yang keduanya fokus pada sektor infrastruktur," terang Lutfey saat menjadi pembicara di acara Institute of International Finance (IIF) Asia Summit di Jakarta, Kamis (7/5/2015).
Dia menjelaskan, Indonesia dan India pernah sama-sama mengalami depresiasi mata uang saat Bank Sentral AS (The Fed) mengumumkan rencana kebijakan quantitative easing pada 2013. Pada 2014, kedua negara tersebut mendapatkan pimpinan baru, Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia dan Perdana Menteri Narendra Modi di India, yang fokus pada perbaikan pertumbuhan ekonomi melalui sektor infrastruktur.
"Meski ada perubahan baru, tapi saat itu dunia perbakan India belum percaya diri. Butuh waktu lama untuk meningkatkan sektor tersebut," terang Lutfey.
Sementara di Indonesia, dengan tren serupa, mandat perubahan dari Jokowi telah memberikan pengaruh pada perekonomian di Tanah Air. Sayangnya, berbagai reformasi yang diagendakan Jokowi kemungkinan dibarengi dengan reformasi politik.
Managing Director, Chief Economist Asia Pacific Standard & Poor's Paul Gruenwald menambahkan, Asia masih dikenal sebagai penggerek utama ekonomi global dibandingkan kawasan lain di dunia. Meski begitu, kebanyakan negara-negara di Asia dinilai terlalu fokus pada percepatan laju pertumbuhan dan melupakan kualitas dari peningkatan itu sendiri.
"Saya rasa di Asia, kita memiliki kebiasaan memuja pertumbuhan. Berbeda dengan China yang justru bicara soal kualitas pertumbuhan ekonominya," terangnya dalam kesempatan yang sama.
Paul menerangkan, saat ekonominya tumbuh terlalu cepat lantaran pembangunan infrastruktur dan properti yang terlalu cepat, China mulai menekan pertumbuhannya. Pemerintah China sengaja melambatkan pertumbuhan ekonominya guna menciptakan neraca yang imbang dan mulai fokus pada ekspor.
"Kami tahu pertumbuhan yang melambat bukan berarti hal buruk. Tapi bisa menjadi hal positif jika dilakukan demi menjaga keseimbangan pertumbuhan negara," tutur Paul.
Menurutnya, bukan hanya China, sejumlah negara lain di Asia juga menimbun utang. Tapi siapa yang mampu mengubah kredit menjadi utang produktif yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Setiap negara memiliki potensi pertumbuhan, tapi pada akhirnya siapa yang tahu kapan membuka, meningkatkan dan memperlambat laju pertumbuhan perekonomiannya.
Dua Negara Asia Ini Sibuk Bangun Infrastruktur
Indonesia dan India pernah sama-sama mengalami depresiasi mata uang saat The Fed mengumumkan rencana kebijakan quantitative easing di 2013.
diperbarui 07 Mei 2015, 13:24 WIBAdvertisement
Advertisement
POPULER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
Survei PUSKAPI, Banyak Warga Musi Banyuasin Belum Tahu Ada Pilkada Sumsel 2024
Waktu Terbaik Sholat Taubat, Lengkap dengan Bacaan Dzikir dan Doanya
Maruarar Sirait: Jokowi dan Prabowo Hanya Dukung Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta
Jelajah Keunikan dan Pesona Pulau Tikus Bengkulu
Galaksi Hantu NGC 4535 Contoh Sempurna Galaksi Spiral di Alam Semesta
Kemenag Gorontalo Lambat Cairkan Tukin P3K, Mahasiswa Ikut Protes
Cara agar Terkoneksi dengan Allah saat Sholat, Ini Kuncinya Kata UAH
Deretan WAGs Pemain Diaspora Timnas Indonesia, Mulai Atlet hingga Model Internasional
Gibran Minta Hapus Penerimaan Siswa Sistem Zonasi, Solusi Atau Masalah Baru?
Intip Sejarah di Balik Megahnya Gedung Sate Bandung
OVO Perangi Judi Online, Sinergi dengan Pemerintah dan Swasta
Dugaan Korupsi Nyaris Rp1 Miliar, Dua Mantan Pegawai RSUD Embung Fatimah Batam jadi Tersangka