Liputan6.com, Jakarta - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras) mendesak Kapolri Jenderal Badrodin Haiti segera memeriksa anggota Polres Samarinda, Kalimantan Timur, yang dinilai terbukti menyiksa anak di bawah umur hingga berujung kematian saat proses pemeriksaan pada 16 Oktober 2011 lalu.
"Adapun korban atas nama Rahmadan Suhidin, saat ditangkap masih berumur 16 tahun dan 4 orang rekannya tersebut dituduh terlibat pencurian kendaraan bermotor oleh anggota opsonal Jatanras Polresta Samarinda," ujar Kadiv Pembelaan Hak Sipil dan Politik Kontras, Putri Kanesia di kantornya, Jakarta, Jumat, (8/5/2015
Putri menduga, ada 9 anggota Opsonal Jatanras yang secara bersama menyiksa korban di ruang opsonal Mapolresta Samarinda. Mereka diduga mengalami penyiksaan hingga muntah-muntah kemudian tak sadarkan diri hingga akhirnya meninggal dunia.
Proses hukum terhadap tewasnya Rahmadan Suhudin telah dilakukan, namun hanya satu anggota Polres Samarinda yang dikenakan proses pidana. Sedangkan 8 orang lainnya diproses secara kode etik.
Padahal dalam putusan Pengadilan Negeri Samarinda dan putusan kasasi terkait perkara korban, secara jelas diterangkan bahwa penyebab tewasnya korban adalah akibat tindakan penyiksaan yang dilakukan bersama-sama oleh anggota Polres Samarinda.
"Kenapa yang 8 itu hanya diproses kode etik, mestinya juga kena pidana dan dikenakan hukuman pidana," ujar Putri heran.
Kejanggalan Penyidikan
Advertisement
Selain itu, Putri juga mengatakan, pihaknya menemukan beberapa kejanggalan yang sengaja dilakukan pihak penyidik sejak awal pemeriksaan. Kejanggalan itu di antaranya pasal penyangkalan yang pada mulanya hanya menyangkakan pelaku dengan Pasal 170 KUHP subs 351KUHP namun tidak memasukkan UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
"Mengingat korban pada saat meninggal dunia masih di bawah umur. Namun, setelah 10 kali dikembalikan oleh Kejaksaan Negeri Samarinda, akhirnya penyidik mau memasukkan ketentuan UU Perlindungan Anak untuk menjerat pelaku," kata dia.
Selain itu, kejanggalan selanjutnya, Putri melihat penyidik hanya membebankan tindak kejahatan yang dilakukan bersama-sama kepada satu orang tersangka saja, yaitu M Anwar. Sementara delapan orang lainnya hanya dijadikan saksi meski terbukti (dalam pengadilan) melakukan penyiksaan pada korban.
"Terakhir, pihak penyidik menyampaikan bahwa kematian korban dikarenakan jatuh dari motor akibat over dosis mengonsumsi minuman keras. Bukan diakibatkan adanya penyiksaan oleh anggota Polres Samarinda," lanjut Putri.
Adanya kejanggalan itu, menunjukkan bahwa masih ada diskriminasi dan ketidakseriusan aparat penyidik dalam mengungkap kasus praktik penyiksaan itu, khususnya jika pelakunya merupakan anggota Polri.
"Apalagi jika para pelaku kemudian hanya dikenakan mekanisme internal atau pemberian sanksi administrasi, seperti sidang kode etik yang justru cenderung melegalkan impunitas terhadap pelaku penyiksaan," kata dia.
Ia pun khawatir adanya hal tersebut dapat menjadi 'senjata' untuk melakukan upaya kriminalisasi terhadap anggota yang dianggap tidak loyal terhadap institusi. "Seperti kasus kriminalisasi terhadap Novel Baswedan yang kembali diungkap baru-baru ini," tandas Putri. (Ali)