Liputan6.com, Chengdu - Siang hari itu, Senin 12 Mei 2008 di Sichuan, China, murid-murid sekolah sedang duduk di bangkunya, menyimak pelajaran dari guru. Sementara, para pekerja baru kembali ke meja masing-masing setelah istirahat siang.
Tak ada yang menyadari gejolak yang tengah terjadi di dalam Bumi. Sekitar 80 km dari kota Chengdu yang berpenduduk 7,6 juta jiwa, tepatnya di kedalaman 19 km bawah tanah, patahan seismik pecah sepanjang 240 km.
Akibatnya parah, gempa mengguncang selama lebih dari 2 menit. Warga Sichuan dan provinsi sekitarnya sama sekali tak siap menghadapinya.
Rumah-rumah yang didirikan dari bata hancur, bangunan beton yang berada dekat pusat gempa hancur, juga runtuh.
Sekolah-sekolah di sana sayangnya tak dirancang sebagai bangunan tahan gempa. Kelas-kelas yang ambruk menyebabkan ribuan anak tewas.
Adegan kematian dan kehancuran mewarnai Sichuan. Upaya pemulihan besar-besaran mutlak diperkukan. Sehingga, untuk kali pertamanya dalam sejarah, China membutuhkan bantuan internasional.
Dari segi kekuatan, lindu di Sichuan adalah 7,9 skala Richter, tak masuk catatan rekor. Namun, kerusakan yang diakibatkan, juga jumlah korban -- tewas maupun terdampak -- menjadi salah satu yang terparah.
"Dari sisi kerugian ekonomi, gempa Sichuan adalah yang tertinggi kedua sepanjang sejarah, setelah Gempa Tohoku, Jepang 2011," tulis James Daniell, ahli gempa sekaligus editor di situs Earthquake Report, seperti dikutip dari situs BBC.
Gempa tersebut juga mengakibatkan angka tunawisma paling tinggi sepanjang sejarah. Setidaknya 4,8 juta orang jadi pengungsi karena tempat tinggal mereka rusak. Bahkan, sesaat setelah gempa, lebih dari 10 juta orang membutuhkan penampungan.
Sementara, lebih dari 5 juta kamar atau sekitar 1,5 juta rumah rata dengan tanah. Dan lebih dari 21 juta kamar atau sekitar 6 juta rumah rusak. Angka itu lebih besar dari jumlah rumah di seantero Australia.
Jumlah tunawisma akibat gempa Sichuan mengerdilkan angka kerusakan di Haiti dan gempa-gempa bersejarah lainya.
Mungkin bukan gempa yang membunuh manusia, melainkan rumah dan bangunan yang dibangun tak semestinya.
Advertisement
Tempat tinggal yang hancur diguncang gempa, juga tanah longsor, menjadi salah satu faktor yang menyebabnya jatuhnya korban: 87 ribu nyawa melayang dan 370 ribu luka -- angka kematian nomor 7 akibat gempa dalam kurun waktu 100 tahun di dunia.
Peringatan didirikan beberapa hari setelah musibah terjadi. "Seharusnya tak hanya jadi peringatan bagi mereka yang tewas akibat gempa, tapi juga mengingatkan bahwa mendirikan bangunan yang baik bisa menghemat uang, juga menyelamatkan nyawa," kata Daniell.
Dalam peristiwa gempa lain di Ya'an, Sichuan pada 20 April 2013, dilaporkan bahwa bangunan yang didirikan pasca-gempa Sichuan, tak satupun yang hancur.
Pun dengan bencana lain yang terjadi setelah 2008. Hal itu mengindikasikan bahwa Pemerintah China juga masyarakat bekerja keras untuk mengurangi jumlah korban jiwa dalam bencana yang mungkin terjadi di masa depan, dengan menerapkan standar bangunan yang baik -- dan yang paling penting adalah mengimplementasikannya.
Selain gempa Sichuan, tanggal 12 Mei menjadi momentum bersejarah bagi peristiwa lain. Pada 1551, Universitas Nasional San Marcos, universitas tertua di Amerika Selatan, didirikan di Lima, Peru.
Sementara, pada 12 Mei 1998 terjadi penembakan ke arah mahasiswa yang sedang melakukan demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta serta menyebabkan puluhan lainnya luka.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada. (Ein)
Baca Juga