Liputan6.com, New York - Laporan riset terbaru dari Juniper, perusahaan spesialis riset pasar digital, mobile dan online asal Amerika Serikat, menemukan berbagai kasus peretasan (hack attack) data di sektor bisnis dapat merugikan ekonomi global hingga US$ 2,1 triliun atau Rp 27.693 triliun (kurs: Rp 13.187 per dolar AS).
Dalam laporan bertajuk `The Future of Cybercrime & Security: Financial and Corporate Threats & Mitigation`tersebut menyebutkan, kerugian besar itu dapat terjadi jika kasus pencurian data masih terjadi secara global hingga 2019.
Advertisement
Melansir zdnet.com, Rabu (13/5/2015), riset tersebut memang dibuat untuk mengungkap ancaman kejahatan cyber pada para pengusaha dan konsumen di seluruh dunia.
Riset tersebut berusaha mencari tahu seberapa signifikan pertumbuhan kejahatan pelanggaran atau pencurian data selama beberapa tahun ke depan.
Menurut laporan Juniper, angka US$ 2,1 triliun tersebut hampir empat kali lipat lebih besar dibandingkan prediksi biaya peretasan data perusahaan dan kejahatan cyber pada 2015.
Lebih jauh lagi, perusahaan riset tersebut memprediksi kerugian rata-rata pelanggaran atau pencurian data elektronik dapat mencapai lebih dari US$ 150 juta pada 2015. Kondisi itu dipicu lebih banyaknya infrastruktur bisnis yang terhubung dengan internet.
Selain itu, Juniper juga memprediksi, hampir 60 persen dari kasus pelanggaran online akan terjadi di kawasan Amerika Utara. Sementara kawasan Eropa Barat akan menderita gangguan signifikan pada keuangannya jika peretasan data di sejumlah lembaga bisnis masih terjadi.
Kasus peretasan data memang tampak seperti segmen kecil di tengah ekonomi global yang sangat luas. Tapi serangan peretasan yang efektif lantaran keamanan perusahaan dan jaringan yang lemah dapat menciptakan kerugian yang luar biasa besar.
Meski demikian, Juniper menemukan berbagai organisasi di dunia akan mengalami lebih sedikit kasus peretasan data dalam beberapa tahun ke depan. Sayangnya, keahlian para peretas akan semakin meningkat dan terbilang lebih sukses.(Sis/Nrm)