Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil menerima kunjungan Executive Director of South Centre Martin Khor membahas soal traktat investasi bilateral atau bilateral investment treaties (BIT) pada Jumat (15/5/2015).
Sofyan menjelaskan, South Centre merupakan lembaga independen yang melakukan kajian soal investasi di berbagai negara. "Dia adalah lembaga independen, yang lakukan studi investasi dari berbagai belahan dunia," ujar Sofyan di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (15/5/2015).
Advertisement
Meski demikian, Sofyan mengungkapkan pertemuan tersebut tidak menghasilkan keputusan apa-apa, melainkan hanya sekadar bertukar pikiran soal kesepakatan investasi yang sudah dan akan dibuat oleh suatu negara dengan negara atau investor dari negara lain.
"Hasil studi itu yang dia share tapi bukan keputusan apa-apa. Jadi pemahaman BIT, tentang pemahaman definisi yang mereka studi berdasarkan pengalaman berbagai negara. Jadi memberikan pemahaman pada para pengambil kebijakan apa sebenarnya BIT, jadi cuma input apa," kata Sofyan.
Sebelumnya, Khor mengungkapkan meski memberikan keuntungan, namun jika BIT ini terbukti merugikan kepentingan nasional, pemerintah harus berani mencabut dan merevisi BIT tersebut.
"Beberapa pasal dalam traktat itu membuat perusahaan asing memiliki kekuatan untuk menggugat pemerintah di pengadilan internasional," ungkap Khor.
Sebelumnya, banyaknya kasus gugatan yang diajukan oleh perusahaan asing kepada Indonesia sampai ke Badan Arbitrase Internasional mendorong pemerintah Joko Widodo (Jokowi) berencana untuk merevisi penerapan Perjanjian Investasi Bilateral yang memberikan perlindungan kuat bagi investor asing dan tertuang dalam Undang-undang (UU) Penanaman Modal.
Sofyan mengungkapkan, pemerintah telah menggelar rapat koordinasi (rakor) mengenai petunjuk tentang perlindungan investasi asing di Indonesia yang efektif. Hasilnya, kata dia, pemerintah perlu meninjau kembali beberapa perjanjian investasi bilateral yang sudah ditandatangani puluhan tahun lalu.
"Banyak BIT yang ditandatangani pada tahun 1960-an atau 1970-an. Dengan kondisi ekonomi yang semakin baik, perkembangan dunia sudah maju, komitmen kita pada ASEAN, BIT perlu dinilai ulang. Hal-hal yang sudah enggak relevan perlu diteliti ulang," tegas dia.
Perjanjian investasi bilateral, sambung Sofyan, dilakukan oleh Indonesia dengan banyak negara. Namun ternyata, tambahnya, perlindungan investasi asing terlalu berlebihan dan banyak ketidakadilan dalam penerapannya. Revisi diperlukan karena ada permasalahan dalam perjanjian tersebut.
"Kalau tidak ada masalah, tidak perlu diubah, tapi ini perjanjian dianggap sama sekali tidak fair. Banyak contoh perlindungan yang tidak dijaga dengan baik, lalu mengancam dibawa ke arbitrase, seperti kasus Bank Century, Newmont dan Churchill (perusahaan tambang asal Inggris) yang menggugat pemerintah Indonesia dengan kasus berbeda ke Badan Arbitrase Internasional," ujar dia.
Dirinya pun mengeluhkan kecenderungan pemerintah membuat aturan yang berlaku surut. Dan aturan seperti ini dilarang karena justru merusak iklim investasi di Indonesia, karena perlindungan investor asing tetap perlu diberikan untuk menarik kegiatan penanaman modal di Indonesia.
"Revisi perjanjian investasi bilateral akan memberi perlindungan kepada investor asing dan pemerintah Indonesia untuk melindungi Indonesia dari itikad buruk serta melindungi investor dari tindakan buruk. Treaty ada yang masih jalan, tapi karena ada yang enggak fair dan tidak seimbang yang perlu kami teliti kembali," jelas Sofyan. (Dny/Ahm)