Darurat (Bencana) Narkoba

Banyak bungkus plastik kecil berserakan yang ditemukan di kamar lantai 2 kala rumah elite di Cibubur, Jawa Barat itu diperiksa.

oleh Ahmad Romadoni Audrey Santoso diperbarui 17 Mei 2015, 00:09 WIB
Ilustrasi Narkoba

Liputan6.com, Jakarta - Banyak bungkus plastik kecil berserakan yang ditemukan di kamar lantai 2 kala rumah elite di Cibubur, Jawa Barat itu diperiksa. Salah satunya masih berisi kristal sabu.

Benda itu terselip di antara gelimangan sampah di rumah mewah yang kondisinya kacau bak habis diterjang tsunami tersebut.

Pasangan suami-istri penghuni rumah pun diperiksa. Hasilnya, UP alias T (45) dan NS (42) dinyatakan positif mengonsumsi narkoba. Penemuan sepaket kristal haram itu menguatkan keterangan sang suami, UP yang mengaku kerap mengonsumsi narkoba di rumahnya.

Pengakuan ini meluncur dari mulutnya saat keluarganya tengah menjadi sorotan. Bersama istrinya, dia diduga menelantarkan putra tunggalnya yang masih berusia 8 tahun, D hingga bocah tersebut hidup terkatung-katung selama 1 bulan.

Penemuan narkoba tersebut otomatis menambah panjang daftar pelanggaran hukum UP dan NS. Pasutri itu kini diserahkan ke Direktorat Narkotika Polda Metro Jaya.

Eksekusi mati terpidana kasus narkoba belum juga membuat para pengedar jera.

Kisah keluarga UP dan narkoba hanyalah ‘jarum di tumpukan jerami’. Masih ada segudang kisah lain pengguna narkoba yang berujung pada masalah, baik hukum, kesehatan, finansial, maupun sosial. Kerusakannya nyata. Karena itulah peredarannya terlarang.

Namun makin hari kasus penyalahgunaan narkoba kian membubung.

"Faktanya penyalahguna narkoba sekarang 4 juta lebih. Angka meninggal dunia 30-50 orang setiap hari," kata Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Anang Iskandar dalam diskusi 'Darurat Narkoba' di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (16/5/2015).

"Masalah narkoba menghiasi media nasional. Fakta lagi 50 persen lebih masalah narkoba di penjara. Inilah yang menyebabkan Indonesia darurat narkoba. "

Begitu pula dengan jumlah para pengedarnya yang jumlahnya memprihatinkan. Untuk menekannya, pemerintah bertindak tegas menjatuhkan hukuman mati bagi gembong-gembong narkoba.

Anang menyatakan, tercatat sudah 50 jaringan narkoba internasional yang berhasil ditangkap BNN selama 2015. Menurut dia, beberapa kota besar di Indonesia masih menjadi sasaran empuk para bandar narkoba.

Belakangan, kata dia, jaringan narkoba yang berhasil ditangkap memang bukan sembarangan. Barang bukti yang disita pun juga tidak sedikit.

"Ada 40-50 jaringan di tahun ini. Itu gabungan (internasional dan nasional). Kan nggak ada internasional tanpa kerja sama dengan nasional, nggak bisa masuk," ujar dia.

Bencana!

Namun mantan hakim Asep Iwan Irawan tak sepakat dengan Anang. Menurut dia, status Indonesia saat ini bukan lagi darurat narkoba, melainkan bencana narkoba.

"Sekarang ini bukan darurat lagi, tapi bencana narkoba," ujar Asep.

Hakim yang pernah memidana mati puluhan terpidana narkoba itu menilai, kondisi saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Hal ini terbukti dengan ditemukannya narkoba di ruang ketua lembaga tinggi, dosen, bahkan orangtua yang menelantarkan anaknya di Cibubur.

"Ketika hukum benar, ketika mereka menolak hukuman mati, suruh mereka makan saja tuh barang bukti (narkoba)," cetus Asep.

Sementara, Kepala BNN Komjen Pol Anang Iskandar menilai, vonis hukuman mati tak cukup untuk membuat para pengedar narkoba berpikir 2 kali sebelum mengedarkan barang haram tersebut. Menurut dia, selain vonis hukuman mati, pengambilalihan aset para bandar narkoba juga menjadi pertimbangan bagi BNN.

"Bandar, produksi, kurir ini semua diberantas. Tidak hanya dipenjara, tapi hartanya harus dirampas dengan pasal TPPU (tindak pidana pencucian uang). Hartanya bisa dirampas," ujar Anang.

Ia pun bercerita bagaimana BNN menyita ratusan kilogram narkoba jenis sabu yang bila diuangkan jumlahnya mencapai triliunan rupiah.

"Contoh suatu saat kita tangkap 860 kilogram sabu. Kalau dikonversi nilainya Rp 1,7 triliun. Jumlah itu sama dengan anggaran BNN 2 tahun. Ini masalahnya," kata Anang.

Walau belum pernah menerapkan sanksi pengambilalihan aset terhadap para bandar narkoba, namun menurut Anang, penerapan perampasan kekayaan melalui pasal TPPU sangat mungkin diterapkan.

Selama 2014, BNN telah menyita aset senilai Rp 100 miliar dari 15 kasus berbeda. Uang itu lalu digunakan untuk program pemberantasan, pencegahan, dan rehabilitasi

Foto dok. Liputan6.com

Lalu bagaimana dengan para penggunanya?

Anang mengatakan, upaya pencegahan peredaran serta penggunaan narkoba kini harus dikedepankan, meski tidak mengesampingkan aspek pemberantasan. Caranya bisa dengan asas melindungi dan mengayomi.

Anang mengingatkan para pengguna ini tidak boleh dipenjara karena para pecandu ini tidak akan sembuh. Cara yang pas adalah dengan direhabilitasi.

Dia menyatakan, tak lama lagi, peraturan presiden (perpres) terkait program rehabilitasi bagi para pengguna narkoba bakal segera dibuat.

"Dalam waktu dekat akan dibuat peraturan presiden. Nanti akan melalui sidang kabinet terbatas," kata Anang.

Karena itu dia pun mengimbau para orangtua untuk memaksa anak atau anggota keluarganya yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba untuk melapor ke BNN. Mereka tidak perlu khawatir karena tidak akan dipidana.

Pelaporan ini, kata dia, merupakan upaya menurunkan jumlah pengguna narkoba. Dengan laporan yang diberikan, para korban akan direhabilitasi sampai sembuh, bukan dipenjara.

"Selama ini darurat narkoba karena penyalahguna dipenjara. Mereka nggak sembuh, jumlahnya nambah terus," sambung Anang.

"Senjatanya rehabilitasi. Undang-undang sudah mengatur penyalahguna direhab. Undang-undang mengatur secara jelas. Kalau bahasa Jawanya cetok welo welo. Jelas," pungkas Anang Iskandar. (Ndy/Ans)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya