Liputan6.com, Jakarta Serbuan film-film summer alias musim panas dari Hollywood baru saja dimulai. Namun, tampaknya pertarungan summer blockbuster tahun ini sudah kelihatan pemenangnya—setidaknya bagi saya. Mad Max: Fury Road layak jadi pemenang film summer tahun ini!
Saat hendak nonton film ini, awalnya saya tak terlalu antusias. Film Mad Max lagi? Dengan bintang baru dan cerita baru? Ah, ini pasti cara Hollywood ingin cari untung dengan mengajak penonton lama bernostalgia dengan kisah yang dianggap sebagai cult classic, seperti yang sudah-sudah.
Advertisement
Saya salah. Sangat salah.
Franchise Mad Max, Anda mungkin sudah tahu, aslinya berasal dari Australia. Film pertama lahir 1979, sebagai bagian dari apa yang kemudian disebut “ozploitation”, sub- genre bagi film-film dari Australia yang mengeksploitasi kekerasan.
Bagi Hollywood kisah pos-apokaliptik ini begitu nyentrik. Mad Max kemudian dibuat dua jilid lagi dan menjadi tiket bagi Mel Gibson ke Hollywood. Kita kemudian menganggap Max Rockatansky bagi Gibson seperti Indiana Jones bagi Harrison Ford.
Di tengah demam Hollywood yang membangkitkan lagi cerita-cerita lama mereka dengan sekuel, prekuel, remake, ataupun reboot, niatan sutradara film-film Mad Max, George Miller membuat film ke-4 sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
Mel Gibson menolak bergabung. Hal yang patut disyukuri karena yang kita kemudian saksikan di layar, filmnya tak terbebani oleh bintang utama yang ingin tampak menonjol.
Mad Max: Fury Road adalah film ke-4 setelah Mad Max (1979), Mad Max 2 (1981), dan Mad Max: Beyond Thunderdome (1985). Kisah film keempat bukan prekuel ataupun remake maupun reboot film terdahulu. Ini sebuah sekuel yang melanjutkan petualangan Max (kali ini diperankan Tom Hardy) di dunia pos-apokaliptik, pasca bencana nuklir yang menyisakan lahan tandus, gersang serta padang pasir di seantero Bumi.
Penonton dianggap Miller sudah tahu tiga cerita sebelumnya. Ia tak perlu menceritakan bagaimana Max dihantui masa lalunya dengan kelebatan bayangan-bayangan. "Tonton film sebelumnya, bodoh! Saya tak punya waktu menceritakan lagi dari awal" Begitu mungkin pikirnya.
Dan ya, ia memang tak punya waktu untuk itu. Sebab hal itu tak cukup relevan dengan petualangan yang dilakoni Max kali ini.
Cerita diawali ketika Max diculik kelompok War Boys yang anggotanya berkepala plontos dan berkulit putih pucat. Darahnya hendak diambil. Ia tak lagi dianggap manusia, melainkan cuma sekantung darah.
War Boys adalah pasukan dari seorang war lord, panglima perang bernama Immortan Joe (Hugh Keays-Byrne, aktor watak legendaris Australia) yang berambut putih dengan mulut ditutup topeng seram sekaligus alat bantunya bernafas.
Di dunia pasca-bencana nuklir, Immortan Joe dianggap Tuhan oleh pengikutnya. Ia menguasai air yang ia bisa bagikan sedikit-sedikit agar manusia yang tinggal di bawah tebing curam menghamba padanya. Pun bagi pasukannya, War Boys, Joe adalah panutan. Mereka rela mati untuknya.
Syahdan, ada seorang prajurit perempuan Joe yang membangkang. Furiosa (Charlize Theron) membawa kabur wanita-wanita yang ditawan sebagai istri Joe. Maka, Joe dan pasukannya mengejar Furiosa hingga ke ujung langit.
Max terjebak dalam aksi kejar-mengejar ini. Max lantas bergabung dengan Furiosa dan para istri, dibantu seorang War Boys, Nux (Nicholas Hoult) yang sadar akan kekeliruannya, menghadapi Joe dan pasukannya.
Pentingkah sub-teks di Mad Max: Fury Road?
Menonton Mad Max: Fury Road kita akan tersadar dialog filmnya mungkin ditulis tak sampai 10 halaman ketik spasi rangkap. Tapi di sini justru istimewanya. Film ini bukan dibangun dengan dialog yang menjadi jalan cerita. Film sebagai bahasa gambar bergerak (motion picture) mampu menjelaskan jalan ceritanya dengan baik.
Tanpa banyak cakap, misalnya, kita tersadar akan seperti apa dunia pos-apokaliptik. Peradaban yang kita kenal runtuh, dan manusia mengawali segalanya lagi dari awal seperti saat sejarah baru saja dimulai.
Kita melihat, sebagaimana diteorikan dalam Marxisme, kelas penguasa lahir karena menguasai sumber daya. Dalam kasus film ke-4 Mad Max, kelas penguasa ini kemudian kembali seperti saat peradaban manusia baru dimulai: mereka menganggap dirinya Tuhan, penguasa alam.
Namun, sebetulnya, sedikit menggelikan membawa teori Marxisme segala ke dalam film ini. Sebab, sub-teks itu pun hanya muncul sekelebatan. Yang mendominasi film ini, tentu saja, adegan pertarungan mobil (combat car) di lahan tandus.
George Miller menyuguhkan tontonan yang bikin jantung tak henti berdegup serta berteriak, persis naik roller coaster.
Kita pun menganggap yang tak masuk akal pun terlihat keren di film ini. Coba tengok, untuk apa tetabuhan dan gitaris punk bergelantungan? Penyemangat seperti pasukan perang Eropa abad ke-18? Yang jelas, hal konyol itu terlihat spektakuler dan keren dipandang.
Meski begitu, jika hendak dicari cacatnya, Mad Max: Fury Road sedikit membenamkan karakter Max sebagai sang bintang utama. Jujur, yang tampak menonjol di film ini justru karakter Furiosa. Setelah Amanda Ripley di franchise Alien dan Sarah Connor di Terminator, dia petarung wanita jagoan yang mampu meminggirkan para pria ke sudut layar.
Alhasil, mungkin tanpa diniatkan sineasnya, Mad Max: Fury Road jadi sebuah film yang mengagungkan feminisme, saat para wanita memberontak pada paham patriarki yang membelenggu. Max, meminjam istilah feminisme, pada gilirannya menjadi seorang “pria feminis” yang menyetujui pandangan kaum perempuan serta berupaya melawan budaya dominan pria, kaumnya sendiri.
Well, sekali lagi, sedikit menggelikan juga melihat film ini sebagai sub-teks feminisme, lantaran jualan utama filmnya adalah aksi seru di sepanjang tanah gersang dan berpasir.
Maka, ungkapan yang tepat bagi Mad Max: Fury Road adalah, "Ini film musim panas paling asyik tahun 2015. Titik." *** (Ade/Rul)
Advertisement