Liputan6.com, Jakarta: Pertunjukan yang memadukan wayang kulit dan wayang orang diperkenalkan seorang seniman asal Daerah Istimewa Yogyakarta di pentas Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, baru-baru ini. Perbedaan mendasar Wayang Ukur kreasi Sigit Sukasman ini adalah penampilan penari-penari atau pelakon wayang orang di depan panggung utama. Tampilnya pemain wayang orang bukan sekadar tempelan, tapi menjadi bagian cerita yang dihadirkan sang dalang.
Di panggung utama, wayang kulit tak dimainkan seorang dalang. Tapi seorang dalang duduk memunggungi penonton. Di balik layar, sejumlah dalang ikut melatarbelakangi adegan-adegan di layar utama. Berkat dukungan tata cahaya di depan atau di balik layar, dimensi pencahayaan dan pengadeganan tiap babak terlihat cukup menawan.
Belum cukup dengan sejumlah tampilan berbeda, para dalang meluncurkan lakon dalam Bahasa Indonesia. Tema Bambang Ekalaya memang terasa memiliki roh lain. Terasa sekali pembiasan pakem wayang kulit yang biasa dinikmati pecinta seni ini. Wayang ukur bisa menjadi pilihan penonton yang tidak memahami Bahasa Jawa. Mereka bisa mencoba menyukai dan memahami lakon-lakon wayang kulit.(COK/Syaiful Halim dan Hendro Wahyudi)
Di panggung utama, wayang kulit tak dimainkan seorang dalang. Tapi seorang dalang duduk memunggungi penonton. Di balik layar, sejumlah dalang ikut melatarbelakangi adegan-adegan di layar utama. Berkat dukungan tata cahaya di depan atau di balik layar, dimensi pencahayaan dan pengadeganan tiap babak terlihat cukup menawan.
Belum cukup dengan sejumlah tampilan berbeda, para dalang meluncurkan lakon dalam Bahasa Indonesia. Tema Bambang Ekalaya memang terasa memiliki roh lain. Terasa sekali pembiasan pakem wayang kulit yang biasa dinikmati pecinta seni ini. Wayang ukur bisa menjadi pilihan penonton yang tidak memahami Bahasa Jawa. Mereka bisa mencoba menyukai dan memahami lakon-lakon wayang kulit.(COK/Syaiful Halim dan Hendro Wahyudi)