Liputan6.com, Jakarta - Perang cyber menjadi isu yang ditakutkan banyak pihak bila terjadi di antar-negara. Apalagi bila tindakan perang cyber dilakukan dengan melibatkan persenjataan militer lengkap yang telah dibekali kemampuan terhubung melalui internet.
Pesawat tanpa awak alias drone menjadi salah satu bagian yang tengah diadopsi lembaga militer untuk masuk dalam perangkat perang negara. Dalam pengembangannya, drone militer dibekali berbagai kemampuan, seperti monitoring, pemantauan ala mata-mata hingga drone bersenjata.
Advertisement
Bahayanya, bila perang cyber dilakukan dengan memanfaatkan drone militer dengan cara diretas, ketika proses peretasan sukses, musuh malah bisa mendapatkan informasi lewat pantauan markas langsung atau bahkan menembaki tentara sendiri.
Demi menghindari kemungkinan tersebut, Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy)meminta perusahaan swasta untuk membantu mereka membangun teknologi agar bisa melindungi drone, misil, dan senjata udara lain milik mereka dari serangan hacker.
Siapapun yang memiliki usulan terbaik diharapkan akan membuat sistem pencegahan hacking pada drone US Navy. Bahkan, mereka berharap sistem yang dibangunnya dibekali kemampuan mengambil alih kembali perangkat yang sudah diretas.
Dikutip dari Engadget, Jumat (22/5/2015), tantangan berat yang disediakan oleh militer AS membuat perusahaan swasta sedikit kesulitan. Hal itu menyebabkan militer AS tak akan mendapatkan proposal pengajuan sesuai keinginannya hingga Mei 2016.
(den/isk)