Ikon Film-film Cinta Anak Muda di Segala Zaman

Mari menelusuri jejak film-film anak muda yang lahir di negeri ini dari segala zaman, mulai dari 1950-an hingga sekarang.

oleh Ade Irwansyah diperbarui 21 Mei 2015, 19:30 WIB
Film remaja Badai Pasti Berlalu.

Liputan6.com, Jakarta Meninggalnya Rae Sita Supit, Rabu (20/5/2015) mengingatkan kita pada sebuah film yang terus dikenang hingga kini: Cintaku di Kampus Biru (1976). Film itu jadi salah satu penanda zaman. Bintangnya, Roy Marten, Rae Sita dan Yatie Octavia jadi ikon bagi generasi 1970-an.

Setiap dekade melahirkan ikon masing-masing. Pada awal 1980-an, ikonnya adalah Rano Karno dan Yessy Gusman, lalu berlanjut dengan Onky Alexander dan Ryan Hidayat pada paruh kedua 1980-an. Awal tahun 2000-an ikonnya adalah Nicholas Saputra dan Dian Sastro, lalu berlanjut ke Shandy Aulia dan Samuel Rizal.

Ada Apa dengan Cinta?

Lantas, siapa yang layak disebut ikon film-film remaja saat ini? Lalu, siapa ikon film remaja tahun 1950-an?

Kami mengajak Anda sedikit menengok sejarah perjalanan film nasional dari sudut film remaja.

Mari menelusuri jejak film-film anak muda yang lahir di negeri ini dari segala zaman, mulai dari 1950-an hingga masa kini.

Baca juga:

Film Superhero versi Indonesia 

30 Maret, Hari Film Nasional 

5 Film Terbaik Alex Komang

Habibie vs. Sukarno di Film, Siapa Lebih Hebat?

4 Hantu Paling Ditakuti di Film Indonesia

 


1950-an

Film remaja Asmara Dara.

Era 1950-an

Karena Indonesia baru betul-betul merdeka tahun 1949, film-film bertema anak muda baru muncul di pertengahan 1950-an. Sebelumnya, film-film nasional diisi film bertema perjuangan seperti Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Djogja (1950), atau Lewat Djam Malam (1954).

Film anak muda yang menjadi penanda zaman era 1950-an adalah Tiga Dara (1956) karya Usmar Ismail, Bapak Perfilman Nasional. Tiga Dara ditahbiskan jadi film karya Usmar Ismail yang paling dikenal orang banyak—mungkin karena ini film pop, bukan film berat berisi perjuangan revolusi atau kritik sosial.

Film remaja Tiga Dara.

Tiga Dara mengisahkan kehidupan 3 perempuan kakak-beradik berikut suka-duka mereka (hubungan saudara yang kerap ribut-ribut kecil sampai problem dengan lelaki). Saat diedarkan dahulu, Tiga Dara tergolong film laris di era 1950-an. Akting tiga bintang utamanya (Mieke Wijaya, Chitra Dewi, dan Indriati Iskak) sulit dilupakan. Ketiganya cantik-cantik dan muda. Mereka juga bermain bagus, diselingi nyanyian merdu (ini film musikal).

Sukses Tiga Dara kemudian melahirkan Asmara Dara dengan tema cerita dan musikal sejenis.


1970-an

Era 1970-an

Karena tahun 1960-an dipenuhi gejolak politik G30S/PKI dan lahirnya Orde Baru tak ada film anak muda yang jadi penanda zaman era 1960-an. Ketika Orde Baru mulai mapan sineas kita kemudian melahirkan film-film bagi anak muda.

Poster film Cintaku di Kampus Biru

Wim Umboh menelurkan Pengantin Remaja (1971) dengan bintang Sophan Sophiaan dan Widyawati. Mereka main sebagai sepasang kekasih yang cintanya tak kesampaian, mula-mula karena ketidaksetujuan orangtua kemudian karena maut.
Kemudian ada Cintaku di Kampus Biru (1976) yang dibintangi Roy Marten dan Rae Sita.

Sutradara Ami Prijono menyadurnya dari novel populer Ashadi Siregar. Bahkan untuk ukuran sekarang, ceritanya tergolong berani: percintaan mahasiswa dengan dosen perawan tua. Film yang dikategorikan untuk 17 tahun ke atas itu, menurut antropolog Karl G. Heider disebut sebagai film Indonesia pertama dengan adegan ciuman di bibir secara penuh.

Setahun kemudian Sjuman Djaya membuat Yang Muda Yang Bercinta dengan segala idealismenya. Hasilnya, Kopkamtib melarang peredarannya di wilayah hukum Kodam Jaya sejak Mei 1978 karena ceritanya yang dinilai menghasut masyarakat. Selain itu, di era ini pula Teguh Karya membuat Badai Pasti Berlalu (1977).


1980-an

Film remaja Catatan Si Boy.

Era 1980-an

Di tahun 1980-an adalah era keemasan Rano Karno dan Yessy Gusman yang tak terlupakan. Generasi 1980-an pasti masih terkenang-kenang dengan film remaja yang dibintangi Rano Karno dan Yessy Gusman.

Awalnya adalah Gita Cinta Dari SMA (1979) memfilmkan novel Eddy D. Iskandar. Galih (Rano) dan Ratna (Yessy) sama-sama bintang kelas, sayangnya tak kesampaian menjalin cinta karena ditentang orangtua Ratna.

Film Gita Cinta dari SMA.

Semua remaja pada zaman itu kepingin jadi Ratna atau Galih dan menggumamkan soundtrack-nya yang indah, hasil karya Guruh Soekarnoputra. Tahun yang sama sudah keluar sekuelnya, Puspa Indah Taman Hati, dengan pemain yang masih sama dan sutradara yang sama pula, Arizal.

Di era inilah pemain film muda usia datang bertubi-tubi. Memasuki paruh 1980-an film anak muda makin beragam. Tren tari kejang alias breakdance melahirkan Gejolak Kawula Muda (1985). Kemudian Catatan si Boy (1987) dan Lupus (1987) memunculkan idola baru bernama Onky Alexander (sebagai Boy) dan Ryan Hidayat (Lupus). Dua film itu sukses besar dan melahirkan sekuel-sekuelnya.


1990-an & 2000-an

Foto: Ada Apa Dengan Cinta? (youtube.com)

Era 1990-an dan 2000-an

Tahun 1990-an dikenang sebagai era “mati suri” dalam sejarah perfilman kita. Tidak banyak film bagus dibuat, kebanyaan film esek-esek murahan. Namun, di era ini pula Garin Nugroho merilis film panjang pertamanya, Cinta dalam Sepotong Roti (1990). Film ini mengangkat tema problema cinta pasangan muda dengan puitis.

Film Cinta Dalam Sepotong Roti.

Pada 1991 kala nafas film nasional sudah satu-satu, sejumlah mahasiswa, dosen dan alumnus Intitut Kesenian Jakarta memproduksi Rini Tomboy, dibintangi Cornelia Agatha. FFI 1992 memberikan beberapa nominasi dan sejarah mencatatnya sebagai film remaja terakhir sebelum “mati suri” dimulai.

Baru pada 1998, di tengah gegap gempita Reformasi lahir Kuldesak dari 4 sineas muda Mira Lesmana, Riri Riza, Nan Triveni Achnas, dan Rizal Mantovani. Meski tak sukses komersil, Kuldesak jadi penting sebagai awal kelahiran generasi baru sineas kita.

Awal 2000-an, saat film nasional mulai bangkit, muncul Ada Apa dengan Cinta? (AADC?, 2002) karya Rudi Soedjarwo yang mendatangkan bintang baru, Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra. AADC? Sukses ditonton 2,7 juta orang. Sebuah rekor yang kemudian dipecahkan film remaja lainnya, Eiffel I’m in Love (2003) yang mempertemukan duet Samuel Rizal dan Shandy Aulia. Filmnya laris ditonton 3 juta pasang mata.


2010-an

Film remaja Cinta Brontosaurus.

Era 2010-an

Pasca 2010 idola remaja baru lahir. Begitu juga tren baru. Di penghujung 2000-an, tepatnya 2008, rilis Ayat-ayat Cinta yang mengawinkan kisah islami dengan percintaan anak muda. Di Ayat-ayat Cinta, Fahri (Fedi Nuril) tak ubahnya versi saleh dari Boy. Seperti Boy, Fahri dicintai beberapa wanita. Kisah cinta islami ini terbukti disukai penonton, mendatangkan 3,7 juta orang ke bioskop dan ditonton presiden dan wakil presiden.

Film remaja Ayat-ayat Cinta.

Sukses film dari novel Habiburrahman El Shirazy itu melahirkan tren film cinta islami. Novel-novel penulis yang disapa Kang Abik lainnya kemudian juga difilmkan dan rata-rata sukses, seperti Ketika Cinta Bertasbih I dan II (2009) serta Dalam Mihrab Cinta. Tren ini berlanjut terus hingga kini. Saban tahun kerap ada film bertema religi dengan bumbu percintaan.

Sementara itu, pasca 2010 lahir idola baru remaja: Raditya Dika. Semula, ia adalah blogger yang rajin bercerita soal keseharian yang kocak. Blognya, Kambing Jantan dibukukan dan kemudian difilmkan pada 2009. Filmnya lumayan sukses. Buku-buku lainnya karya Dika, sapaannya, lalu difilmkan dan rata-rata juga ditonton banyak orang.

Dari segi wajah, ia mungkin tak setampan Onky Alexander atau Ryan Hidayat, namun remaja masa kini mungkin tak terlalu peduli tampang. Bagi mereka, Dika yang wajahnya seperti orang kebanyakan justru memberi pesan bahwa untuk jadi popular tak selalu perlu modal tampang.** (Ade/Mer)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya